Kamis, 31 Maret 2016

Istriku Sarjana, & Jadi Ibu Rumah Tangga. Ada Yang Salah?

Perempuan bisa sukses jadi bos di kantor, tapi belum tentu sukses sebagai istri atau ibu.

Apa yang terbayang dalam benak para Muslimah ketika membaca judul di atas? Bisa jadi mereka membayangkan seorang ibu berbaju toga dengan alat rumah tangga atau seorang wanita akademisi yang lebih memilih untuk mengurus anak.

Menjadi sarjana lalu berprofesi sebagai ibu rumah tangga atau ibu rumah tangga yang bergelar sarjana sepertinya kurang keren di telinga kita. Aneh dan rasanya mustahil. Alasannya, buat apa belajar dan menghabiskan biaya begitu mahal, tapi akhirnya menjadi ibu rumah tangga. Orang berpikir untuk apa sekolah tinggi hingga mencapai gelar doktor, namun akhirnya hanya bekerja di rumah. Bukankah itu sama dengan menyia-nyiakan ilmu yang telah kita dapatkan?

Muslimah yang lulus kuliah kemudian bekerja, silakan. Asalkan pekerjaan tersebut tidak melanggar syariat dan bersifat fardhu kifayah, seperti menjadi tenaga pendidik, dokter, atau berwirausaha sebagai mompreneur, dan sebagainya. Namun, menjadi ibu rumah tangga setelah kita mendapat gelar sarjana juga bukan merupakan pekerjaan yang hina.

Banyak yang beranggapan profesi sebagai ibu rumah tangga adalah pekerjaan sepele yang tidak ada istimewanya dibanding para wanita karier yang pergi pagi pulang sore untuk bekerja di kantoran.

Padahal, menurut Islam, profesi ibu rumah tangga ibarat seorang ratu. Ia menjadi pemimpin di rumah suaminya. Hal itu merupakan pekerjaan dan karier terberat dibanding segala profesi yang ada. Balasannya pun tidak main-main, yaitu surga, sesuatu yang lebih baik dari dunia dan segala isinya.

Rasulullah SAW bersabda, “Dunia ini adalah perhiasan. Dan, sebaik-baik perhiasan ialah wanita salihah—wanita yang baik dalam agamanya, rumah tangganya, serta pergaulannya.” (Riwayat Muslim).

Sesungguhnya, pemikiran bahwa menjadi ibu rumah tangga sebuah pekerjaan rendahan berasal dari pikiran feminis. Bagi kaum feminis, menjadi ibu rumah tangga itu merendahkan martabat perempuan karena dianggap membebani dan melakukan perbudakan terhadap kaum Hawa.

Pola berpikir seperti itu karena standar kesuksesan menurut mereka diukur dari unsur materi. Seseorang dikatakan sukses jika punya penghasilan tinggi, gelar seabrek, mobil mewah, meski harus buka aurat.

Untungnya, tidak semua wanita terpengaruh oleh pemikiran tersebut. Masih banyak kaum Muslimah yang mempunyai iman yang kuat sehingga tidak terpengaruh.

Jangan Berhenti Belajar

Saya punya seorang teman yang cerdas, sebut saja namanya Shofi. Ia lulusan jurusan Teknik Industri di perguruan tinggi negeri di Bandung. Namun, tidak disangka, selepas menamatkan pendidikan S-1, ia menikah. Setelah anak perempuannya lahir, ia menjadi ibu rumah tangga penuh atau bahasa kerennya, //full time mommy//.

Tapi, bukan berarti setelah menjadi ibu rumah tangga ia menjadi kuper dan tidak //up-to-date// sama sekali. Buktinya, ia terus mengikuti perkembangan dunia pemikiran. Misalnya, ia mengajak saya ke acara konferensi ilmuwan Muslim.

Atau, juga kita bisa melihat wanita-wanita di Gaza, Palestina. Ketika selepas sekolah menengah atau SMA, mereka menikah dan selama itu mereka berkonsentrasi mengurus dan mendidik anak hingga sang anak dewasa. Ketika sang anak telah dewasa dan ingin masuk perguruan tinggi, sang ibu juga ikut kuliah dan mendaftar di perguruan tinggi yang sama. Bagi wanita Gaza, fisik boleh saja menua namun semangat belajar dan mencari ilmu harus tetap muda. Mereka sadar bahwa pendidikan tinggi dibutuhkan.

Salah satu tokoh pendidikan Melayu asal Kelantan, Malaysia, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, dalam bukunya, Budaya Ilmu dan Gagasan Malaysia: Membina Negara Maju dan Bahagia mengakui bahwa golongan lulusan perguruan tinggi memainkan peran yang penting dalam kemajuan, kesejahteraan, dan kebahagiaan bangsa dan negara. Karena pemimpin semua lapisan dan bidang kehidupan masyarakat dan negara datang dari golongan ini.

Malah, lanjutnya, kesuksesan di peringkat menengah dan rendah bergantung pada kesuksesan di peringkat institusi perguruan tinggi. Sebab, semua pembuat dasar, perancang kurikulum, guru-guru, dan pentadbir penting di peringkat ini terdidik dan terlatih oleh mereka yang berasal dari perguruan tinggi.

Jadi, menurutnya, pendidikan usia dini memang penting jika kualitas pendidiknya tinggi dan memenuhi harapan tujuan pendidikan. Namun, sekarang realitanya, yang menjadi penentu bagus tidaknya kualitas pendidikan ditentukan oleh perguruan tinggi yang diibaratkan seperti pelentur buluh.

“Jangan berpikir menjadi ibu rumah tangga itu pendidikannya mesti rendah, justru pendidikannya harus tinggi,” katanya, saat saya berdiskusi awal November lalu di Bogor.

Tidak Usah Minder

Tidak hanya itu, jauh sebelum Indonesia merdeka, tokoh nasional, Rohana Kudus, sudah memikirkan bagaimana seorang ibu selain harus pintar dalam urusan rumah tangga juga harus berpendidikan. Karena itu, sebagaimana yang dituliskan Tamar Djaja dalam bukunya, Rohana Kudus Srikandi Indonesia: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Rohana sengaja mendirikan Kerajinan Amai Setia yang bertujuan agar ada sekolah lengkap dengan berbagai macam daftar pelajaran yang meliputi kepentingan perempuan. Rohana ingin mendirikan sekolah yang mengajarkan semua ilmu pengetahuan mengenai perempuan, seperti memasak, menjahit, menyulam, di samping pengetahuan sekolah biasa.

Tentu, Rohana sebagai perempuan amat menyadari betapa pentingnya pendidikan yang layak untuk perempuan. Bukan maksud agar perempuan bisa setara kemudian mengalahkan laki-laki. Tapi, karena perempuan akan menjadi sekolah atau pendidik pertama bagi anak-anaknya kelak. Dan, hal ini belum sepenuhnya disadari oleh semua perempuan, terlebih bagi mereka yang memprioritaskan dirinya pada karier dan lebih memilih orang lain untuk mengasuh anak daripada mengasuh sendiri.

Kalau sang ibu terdidik dan mampu mendidik anak-anaknya menjadi anak yang kuat agamanya serta cerdas, ia akan berperan dalam pembangunan, salah satunya ikut menyumbangkan generasi penerus bangsa yang cerdas. Lihat saja Imam Syafi’i, di bawah asuhan ibunya dan pengajaran para ulama. Ia yang saat itu masih berusia sembilan tahun sudah hafal al-Qur’an dan banyak Hadits.

Karena itu, kaum Muslimah tidak usah minder selepas tamat kuliah lalu menikah dan kemudian menjadi ibu rumah tangga. Ada sebuah pernyataan menarik di Facebook yang ditulis oleh seorang ibu. “Perempuan bisa sukses jadi bos di kantor, tapi belum tentu sukses sebagai istri atau ibu. Sebab, menjadi ibu rumah tangga itu berat dan office hour-nya 24 jam.” Karena itu, jangan minder, apalagi merasa terhina menjadi sarjana ibu rumah tangga.

* Sarah Larasati Mantovani, mahasiswa Pasca Sarjana UMS bidang Pemikiran Islam. SUARA HIDAYATULLAH JANUARI 2014


Sumber:
http_thisisgender_com/sarjana-ibu-rumah-tangga/

Baca Juga

Istriku Sarjana, & Jadi Ibu Rumah Tangga. Ada Yang Salah?
4/ 5
Oleh
Tampilkan Komentar
Sembunyikan