Kamis, 21 April 2016

Hari Itu Sebuah Muhasabah Cinta Kuterima Dengan Lapang Dada

PERSOALAN antara menantu dan ibu mertua adalah persoalan umum. Hampir sebagian besar menantu perempuan ada jurang pemisah dengan ibu mertuanya (walau sebenarnya tak sedikit yang bisa mengambil hati dan bisa begitu dekat dengan sang ibu mertua).

Begitu pula denganku. Awalnya, mertua memang tak merestui pernikahan kami. Semua karena Mas Adri merupakan anak keempat dan tiga orang kakak perempuannya belum ada yang menikah. Beliau percaya kalau anak-anak perempuannya dilangkahi adiknya yang laki-laki, pasti akan jadi perawan tua, tak laku. Karenanya, aku dianggap menutup pintu jodoh dari kakak-kakaknya.

Dua tahun setelah pernikahan kami, kakak pertamanya menikah. Dua tahun berikutnya kakak keduanya pun menikah. Alhamdulillah, sedikit banyak, ini mengurangi beban perasaan yang kutanggung. Namun, tak ada perubahan sikap yang berarti dari ibu mertua kepadaku. Walaupun demikian, aku berusaha memberikan porsi perhatian yang lebih kepada beliau dan keluarga Mas Adri.

Suatu hari, Mas Adri pulang dengan tergesa-gesa dan segera hendak pergi lagi.

“Ke mana, Bi?” tanyaku.

“Nganter Ibu njemput Mbak Yanti ke Solo. Mbak Yanti pergi dari rumah, anaknya ditinggal sendiri,” jawabnya tergesa.

Kucium tangannya dengan kecamuk rasa dalam dada.

“Sabar Fatimah, Ibunya lebih berhak didahulukan daripada istrinya,” gumamku. Ada rasa perih yang menjalari hati. Agaknya, fase adaptasi ini bisa lebih panjang daripadaku perkiraanku.

“Ah, kamu jadi istri terlalu sabar. Ntar diinjek-injek sama keluarga suamimu baru tau rasa,” sebuah suara tiba-tiba menyeruak dari dalam hatiku.

“Inget gak? Dulu waktu kalian nikah, semua suruh cari dan usahakan sendiri kan. Terus, waktu kakak-kakaknya nikah, kalian disuruh cari biayanya. Terus… tiap kali ada sesuatu dengan keluarganya, suamimu pasti tergopoh-gopoh bersegera ke sana… bla… bla… bla…,” teriaknya lagi.

“Mas Adri memang gak tahu perasaan, coba kalau aku yang ada apa-apa… apa iya dia akan tergopoh-gopoh menolongku… hihhihhih…,” gumamku kesal.

Suara itu pun bersorak.

Malam itu Mas Adri tak pulang, kudekap keempat anakku dengan rasa nelangsa. Rasa kesal itu pun masih terbawa keesokan harinya.

“Istighfar Fatimah, istighfar, engkau ini penyeru kebaikan. Jangan biarkan kemarahan menguasai hatimu. Ingat, hari ini kau harus mengisi tausiyah tentang istri sholihah. Apa yang akan kaukatakan pada jamaah, bila kau tak bisa mengalahkan egomu sendiri,” kata hatiku.

Hatiku masih menggaungkan istighfar, sementara setan terus-menerus membisikkan hawa kebencian kepada keluarga suami. Duuuh, aku sungguh gamang.

Jam berputar cepat, kupersiapkan tiga anakku agar bisa ditinggal di rumah. Sulungku baru berusia enam tahun. Mengisi kajian dikelilingi empat anak kecil akan sangat merepotkan. Untung tempat kajian tak terlalu jauh dari rumah, jadi tak terlalu lama meninggalkan mereka sendirian.

Kupersiapkan segalanya dengan teliti. Aku pun melangkah pergi dengan si bungsu dalam gendongan. Tiba-tiba…

“Brukkk… auuu!” jeritku spontan. Rupanya aku salah mengambil langkah dan tak melihat selokan yang berada persis di depanku. Sebelah kakiku terperosok ke dalamnya, rasanya sakit sekali. Untuk beberapa lama aku hanya bisa duduk sambil menahan sakit yang luar biasa. Tak ada luka di sana, hanya saja kaki kananku langsung memerah dari ujung jari sampai pergelangan. Si bungsu kaget dan menangis dalam gendongan.

“Kami bantu bangun, Bu,” tawar para tetangga yang sudah mengelilingiku. Aku menggeleng menahan malu.

“Ndak usah, Pak, Bu. Saya masih kaget,” tolakku halus.

Perlahan aku mencoba berdiri, menahan rasa sakit yang semakin menjadi. Kakiku tetap sulit kubawa melangkah. Tertatih-tatih kuseret kakiku masuk kembali ke dalam rumah.

“Orang-orang pada ngapain di depan rumah, Mi? Umi jatuh to? Umi ndak jadi pergi?” sambut anak-anak dengan pertanyaan bertubi-tubi. Aku hanya mengangguk lemah.

“Bu, sudah ditunggu.”

Satu pesan masuk dalam handphoneku, dari panitia kajian. Kuketikkan pesan balasan.

“Afwan Ibu-ibu, dengan terpaksa saya tidak dapat mengisi kajian, kaki saya terkilir, tidak bisa berjalan.”

Hari itu kuhabiskan dengan keluhan. Air mataku semakin menderas oleh satu sentuhan kecil saja pada kaki kananku. Dan ada saja yang menyentuh kaki sakit ini. Sungguh, aku ingin marah tapi pada siapa? Hanya ada sulungku yang berumur enam tahun dan tiga adiknya. Bukan salah mereka.

“Umi ndak telpon Abi biar cepet pulang?” tanya Sulung.

“Abi sedang repot, Mas …” jawabku.

“La kalau ndak periksa kan ndak sembuh-sembuh, Mi,” katanya lagi.

Dia benar. Tapi aku hanya bisa diam. Entahlah, ada rasa enggan untuk memberitahukannya. Juga rasa kawatir kalau dia tak mengganggap penderitaanku sebagai sesuatu yang serius.

Malam pun mulai tiba, Mas Adri pulang. Beliau begitu kaget melihatku menyambutnya dengan berjalan tertatih dengan kursi plastik kujadikan pegangan untuk berjalan.

“Kenapa kakimu, Mi?” tanyanya.

Kuangkat kursi yang kujadikan pegangan dan memperlihatkan kaki kananku kepadanya. Tak sampai sehari tapi kakiku sudah berubah merah dan besar hampir dua kali lipatnya.

“Jatuh tadi, keperosok got,” kataku sambil meringis.

“Innalillah, aku panggil Bunda biar dipijit ya,” katanya sambil terus pergi tanpa menunggu jawabanku. Tak berapa lama dia sudah datang dengan Bundaku. Alhamdulillah.

Melihat keadaan kakiku, Bunda tidak berani memijit. Beliau bahkan menyarankan untuk segera ke rumah sakit saja. Malam itu juga Mas Adri cari mobil carteran untuk membawaku ke rumah sakit. Digendongnya aku dengan hati-hati sampai keluar gang karena mobil tak bisa melewati gang di depan rumah kami yang sempit. Kukalungkan kedua lengan melingkari lehernya sambil menahan sakit yang makin menjadi. Amboi, romantis nian, seandainya kakiku tak sedang sakit…, pikirku.

Waktu terasa begitu lama, menunggu pemeriksaan ditemani angin malam yang menusuk tulang kakiku. Alhamdulillah, tak ada yang patah, hanya tulang metatarsalku ada yang berpindah tempat.

Atas saran Bunda, aku dibawa ke Sangkalputung, salah satu pengobatan alternatif yang menangani terkilir dan patah tulang. Konon tak perlu operasi dan tak perlu berbulan-bulan pengobatan.

Malam itu juga Mas Adri membawaku ke Sangkalputung. Kami sampai di sana jam 00.30 dan menunggu pagi di dalam mobil. Kupandangi wajah lelahnya saat tertidur di jok di depanku. Perlahan kesadaranku kembali. Mas Adri suami yang baik, dia benar-benar menyayangiku.

Kutatap wajah lelah itu tanpa bosan. Perlahan air mataku menetes membasahi tangannya yang menggenggam jemariku.

“Umi nangis? Sakit sekali ya…, sabar ya… sebentar lagi buka,” katanya saat terbangun.

“Umi minta maaf ya…,” kataku pelan.

“Tidak, Abi yang minta maaf… terlalu sibuk dengan yang lain,” jawabnya.

“Tidak, Umi yang minta maaf… telah berprasangka kepada Abi,” kataku. Kuceritakan semua yang kurasakan sepeninggalnya kemarin.

“Allah sedang menegurku, Bi. Harusnya aku bangga karena suamiku anak yang berbakti kepada ibunya. Tapi aku cemburu kalau Abi terlalu perhatian pada keluarga besar Abi. Aku kesal, aku jengkel, Mbak Yanti kan sudah punya suami. Beri tanggung jawab dong suaminya, jangan Abi lagi, Abi lagi…,” curhatku padanya.

Laki-laki terkasih itu hanya tersenyum mengusap air mataku.

“Ehm, Umi cemburu ya…,” godanya.

“Mbak Yanti itu dulu pernah depresi berat. Wajar kan kalau Ibu begitu cemas saat mendengar dia pergi dari rumah tanpa pamit. Abi kan hanya ingin menenangkan hati Ibu. Sudah seharusnya seorang anak menyenangkan hati ibunya dan tak membantah perintahnya, selagi itu bukan maksiyat. Bukan begitu Mi?” katanya lagi.

Hari itu sebuah muhasabah cinta kuterima dengan lapang dada. Teguran halus dari Sang Maha Cinta. Bagaimanapun, ridho Ibu mertua adalah pintu surga suami kita dan ridho suami adalah pintu surga kita. Karenanya, kalau menginginkan surga, usahakanlah untuk mengejar ridho keduanya.

Oleh : Titien SDF, titienfatmasari@gmail.com

#Demak, 21032015



(Sumber: muslimbijak.com)

Baca Juga

Hari Itu Sebuah Muhasabah Cinta Kuterima Dengan Lapang Dada
4/ 5
Oleh
Tampilkan Komentar
Sembunyikan