Zainab binti Muhammad radhiallahu ‘anha merupakan putri tertua Nabi. Ia buah pernikahan Nabi dengan Bunda Khadijah radhiallahu ‘anha.
Zainab kecil sudah dilatih Khadijah untuk mengasuh Fathimah Az Zahra radhiallahu ‘anha. Zainab merupakan mutiara bagi suaminya, Abul Ash ibn Rabi’. Sosoknya merupakan cermin seorang istri yang begitu setia dalam berkhidmat bagi suaminya.
Ketika Zainab menyampaikan bahwa ayahnya mendapat wahyu kenabian, Abul Ash mengingkarinya. Abul Ash mengakui bahwa Muhammad, ayah mertuanya, merupakan orang yang tidak pantas diingkari, tetapi alasan nenek moyangnya lebih ia utamakan untuk menolak risalah kenabian.
Pada perang Badar, Abul Ash ikut berperang di barisan kaum musyrikin memerangi ayah mertuanya sendiri. Bayangkan betapa galau hati Zainab saat itu. Ia harap-harap cemas keselamatan ayahnya. Pada saat yang sama, ia juga gundah dengan nyawa sang suami yang memerangi ayahnya. Akhirnya datanglah kabar 70 orang musyrikin tertawan, Abul Ash salah satunya.
Dan siapa yang menebusnya? Zainab sang istri. Demikianlah bakti Zainab pada suaminya.
Dari Makkah, Zainab mengirim sejumlah harta tebusan dan sebuah kalung dari batu Onyx Zafar. Ini kalung yang tak biasa. Kalung itu merupakan hadiah pernikahan dari sang ibunda, Khadijah.
Ketika Nabi melihat kalung itu, ingatannya melayang ke cinta sejatinya, Khadijah. Nabi berseru pada kaum muslimin, jika mereka setuju Nabi meminta Abul Ash dibebaskan dan kalung itu dikembalikan ke Zainab.
Kembalinya Abul Ash dalam dekapan Zainab ternyata juga membawa kabar dari Nabi bahwa iman telah memisahkan mereka. Iman telah menjadi batas hubungan suami istri itu. Zainab diminta berhijrah ke Madinah oleh Nabi.
Kala itu Zainab sedang mengandung buah cinta dengan Abul Ash dan kelak ia keguguran ketika jatuh dari untanya. Keduanya, Zainab dan Abul Ash, berpisah dengan gerimis air mata. Demikianlah bakti Zainab pada agamanya.
Beberapa waktu sebelum Fathul Makkah, Abul Ash memimpin kafilah dagang dari Syam. Lagi-lagi, seluruh hartanya disita kaum muslimin. Ketika malam merayap, Abul Ash diam-diam menemui Zainab di Madinah dan meminta Zainab untuk memberi perlindungan. Zainab menyanggupi. Zainab berseru di balik dinding ketika Rasul dan kaum muslimin berdiri shalat Subuh. “Wahai kaum muslimin, Abul Ash berada dalam perlindungan Zainab”.
Abul Ash dan hartanya selamat. Inilah titik balik itu. Sepulang ke Makkah dan menunaikan amanat orang-orang Quraisy, Abul Ash berseru dan berikrar syahadat.
Abul Ash menyusul belahan jiwanya, Zainab, ke Madinah. Setelah 6 tahun berpisah karena iman yang beda, Abul Ash dan Zainab kembali bersatu cintanya. Cinta Zainab akhirnya tergenapkan. Kerinduannya akan iman di dada suaminya terpenuhi. Dan tak lama berselang, setahun kemudian wafatlah Bunda Zainab.
Cinta Abul Ash menyebabkan tangisannya begitu menyayat sehingga orang yang mendengarnya juga ikut menangis. Usai dimandikan, Nabi bersabda, “Kafanilah ia dengan kain ini”.
Dalam perjalanan ke Syam, Abul Ash mengenang, ”Puteri Al-Amiin, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan dan setiap suami akan memuji sesuai dengan yang diketahuinya.”
Demikianlah ridha suami dibawa serta oleh Zainab. Inilah Zainab radhiallahu ‘anha, putri pemimpin para Nabi.
Warungboto, Yogyakarta, 15 Ramadhan 1432/15 Agt 2011
(sumber: rachmadresmi.blogspot.com)
Zainab kecil sudah dilatih Khadijah untuk mengasuh Fathimah Az Zahra radhiallahu ‘anha. Zainab merupakan mutiara bagi suaminya, Abul Ash ibn Rabi’. Sosoknya merupakan cermin seorang istri yang begitu setia dalam berkhidmat bagi suaminya.
Ketika Zainab menyampaikan bahwa ayahnya mendapat wahyu kenabian, Abul Ash mengingkarinya. Abul Ash mengakui bahwa Muhammad, ayah mertuanya, merupakan orang yang tidak pantas diingkari, tetapi alasan nenek moyangnya lebih ia utamakan untuk menolak risalah kenabian.
Pada perang Badar, Abul Ash ikut berperang di barisan kaum musyrikin memerangi ayah mertuanya sendiri. Bayangkan betapa galau hati Zainab saat itu. Ia harap-harap cemas keselamatan ayahnya. Pada saat yang sama, ia juga gundah dengan nyawa sang suami yang memerangi ayahnya. Akhirnya datanglah kabar 70 orang musyrikin tertawan, Abul Ash salah satunya.
Dan siapa yang menebusnya? Zainab sang istri. Demikianlah bakti Zainab pada suaminya.
Dari Makkah, Zainab mengirim sejumlah harta tebusan dan sebuah kalung dari batu Onyx Zafar. Ini kalung yang tak biasa. Kalung itu merupakan hadiah pernikahan dari sang ibunda, Khadijah.
Ketika Nabi melihat kalung itu, ingatannya melayang ke cinta sejatinya, Khadijah. Nabi berseru pada kaum muslimin, jika mereka setuju Nabi meminta Abul Ash dibebaskan dan kalung itu dikembalikan ke Zainab.
Kembalinya Abul Ash dalam dekapan Zainab ternyata juga membawa kabar dari Nabi bahwa iman telah memisahkan mereka. Iman telah menjadi batas hubungan suami istri itu. Zainab diminta berhijrah ke Madinah oleh Nabi.
Kala itu Zainab sedang mengandung buah cinta dengan Abul Ash dan kelak ia keguguran ketika jatuh dari untanya. Keduanya, Zainab dan Abul Ash, berpisah dengan gerimis air mata. Demikianlah bakti Zainab pada agamanya.
Beberapa waktu sebelum Fathul Makkah, Abul Ash memimpin kafilah dagang dari Syam. Lagi-lagi, seluruh hartanya disita kaum muslimin. Ketika malam merayap, Abul Ash diam-diam menemui Zainab di Madinah dan meminta Zainab untuk memberi perlindungan. Zainab menyanggupi. Zainab berseru di balik dinding ketika Rasul dan kaum muslimin berdiri shalat Subuh. “Wahai kaum muslimin, Abul Ash berada dalam perlindungan Zainab”.
Abul Ash dan hartanya selamat. Inilah titik balik itu. Sepulang ke Makkah dan menunaikan amanat orang-orang Quraisy, Abul Ash berseru dan berikrar syahadat.
Abul Ash menyusul belahan jiwanya, Zainab, ke Madinah. Setelah 6 tahun berpisah karena iman yang beda, Abul Ash dan Zainab kembali bersatu cintanya. Cinta Zainab akhirnya tergenapkan. Kerinduannya akan iman di dada suaminya terpenuhi. Dan tak lama berselang, setahun kemudian wafatlah Bunda Zainab.
Cinta Abul Ash menyebabkan tangisannya begitu menyayat sehingga orang yang mendengarnya juga ikut menangis. Usai dimandikan, Nabi bersabda, “Kafanilah ia dengan kain ini”.
Dalam perjalanan ke Syam, Abul Ash mengenang, ”Puteri Al-Amiin, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan dan setiap suami akan memuji sesuai dengan yang diketahuinya.”
Demikianlah ridha suami dibawa serta oleh Zainab. Inilah Zainab radhiallahu ‘anha, putri pemimpin para Nabi.
Warungboto, Yogyakarta, 15 Ramadhan 1432/15 Agt 2011
(sumber: rachmadresmi.blogspot.com)
Zainab Binti Muhammad: Kisah Cinta Beda Agama Putri Rasulullah SAW
4/
5
Oleh
Blogger Keren