Selasa, 23 Februari 2016

Kisah Nyata: Inilah Alasanku Berhenti Menjadi Wanita Karir

 Sore itu sambil menunggu kehadiran sahabat yang hendak menjemputku di masjid ini sesudah ashar. Kulihat seorang yang berpakaian rapi, berjilbab dan juga tertutup lagi duduk disamping masjid. Kelihatannya dia lagi menunggu seorang juga. saya berupaya menegurnya dan juga duduk disampingnya, mengucapkan salam, sambil berkenalan.

Dan kesimpulannya pembicaraan hingga pula pada persoalan itu. “Anti sudah menikah?”.
“Belum ”, jawabku datar.

Kemudian perempuan berjubah panjang (Akhwat) itu bertanya lagi “kenapa?”
Pertanyaan yang cuma dapat ku jawab dengan senyuman. mau kujawab karna masih bakal melanjutkan pendidikan, tetapi kerasanya itu bukan alasan.

“Mbak menunggu siapa?” saya berupaya bertanya.
“Menunggu suami” jawabnya pendek.

Aku memandang kesamping kirinya, suatu tas laptop dan juga suatu tas besar lagi yang tidak dapat kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya - tanya, dari mana mbak ini? kayaknya perempuan karir. kesimpulannya kuberanikan pula buat bertanya “Mbak kerja di mana?”

Entah kepercayaan apa yang membuatku demikian percaya bila mbak ini benar seseorang perempuan pekerja, sementara itu setahu ku, akhwat - akhwat serupa ini mayoritas cuma mengabdi bagaikan bunda rumah tangga.

“Alhamdulillah 2 jam yang kemudian aku formal tidak bekerja lagi” jawabnya dengan muka yang aneh menurutku, muka yang bersinar dengan ketulusan hati.

“Kenapa?” tanyaku lagi.
Dia cuma tersenyum dan juga menanggapi “karena inilah PINTU dini kita perempuan karir yang dapat membikin kita lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.

Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi - lagi ia cuma tersenyum.

Saudariku, boleh aku cerita sedikit? dan juga aku berharap ini dapat jadi pelajaran berharga buat kita para perempuan yang Insya Allah cuma mau dikunjungi oleh pria yang baik - baik dan juga sholeh saja.

“Saya bekerja di kantor, bisa jadi tidak butuh aku sebutkan nama kantornya. honor aku 7 juta/bulan. Suami aku bekerja bagaikan penjual roti bakar di pagi hari dan juga es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan juga kemarinlah buat kesatu kalinya aku menangis karna terasa durhaka padanya. kalian ketahui mengapa ?

Waktu itu jam 7 malam, suami aku menjemput aku dari kantor, hari ini lembur, lazimnya sore jam 3 sudah pulang. Setibanya dirumah, bisa jadi cuma rehat yang terlintas dibenak kami perempuan karir. Ya, aku akui aku begitu letih sekali ukhty. dan juga kebetulan dikala itu suami pula bilang bila ia masuk angin dan juga kepalanya pusing. Celakanya kerasa pusing itu pula melanda saya. berubah dengan saya, suami aku cuma memohon diambilkan air putih buat minum, tetapi aku malah berkata, “abi, umi pusing nih, ambil seorang diri lah !!”.

Pusing membikin aku tertidur sampai kurang ingat sholat isya. Jam 23.30 aku terbangun dan juga cepat - cepat sholat, Alhamdulillah pusing juga telah hilang. Beranjak dari sajadah, aku memandang suami aku tidur dengan pulasnya.

Menuju ke dapur, aku liat seluruh piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami aku (kami benar berkomitmen buat tidak mempunyai khodimah)? nampak lagi seluruh pakaian kotor telah di cuci. Astagfirullah, mengapa abi mengerjakan seluruh ini? Bukankah abi pula pusing tadi malam? aku lekas masuk lagi ke kamar, berharap abi siuman dan juga ingin menjelaskannya, tetapi kerasanya abi sangat lelah, sampai tidak siuman juga.

Rasa iba mulai penuhi jiwa saya, aku pegang muka suami aku itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi demam, besar sekali panasnya. aku teringat perkataan terakhir aku pada suami tadi. cuma disuruh mengambilkan air putih aja aku membantahnya. Air mata ini menetes, air mata karna telah melupakan hak - hak suami saya.”

Subhanallah, saya memandang mbak ini cerita dengan semangatnya, membikin hati ini merinding. dan juga kulihat pula terdapat tetesan air mata yang di usapnya.

“Kamu ketahui berapa honor suami saya? amat berubah jauh dengan honor saya. dekat 600 - 700 rb/bulan. Sepersepuluh dari honor aku sebulan. Malam itu aku betul - betul terasa amat durhaka pada suami saya.

Dengan honor yang aku miliki, aku terasa tidak butuh memohon nafkah pada suami, walaupun suami senantiasa membagikan hasil jualannya itu pada aku dengan ikhlas dari lubuk hatinya. tiap kali membagikan hasil jualannya, dia senantiasa mengatakan “Umi, ini terdapat titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. dan juga tidak banyak jumlahnya, mudah - mudahan Umi ridho”, begitulah katanya. dikala itu aku baru merasakan dalamnya perkata itu. Betapa harta ini membikin aku sombong dan juga durhaka pada nafkah yang dikasih suami saya, dan juga aku percaya kira - kira tidak terdapat perempuan karir yang selamat dari fitnah ini”

“Alhamdulillah aku saat ini memutuskan buat menyudahi bekerja, mudah - mudahan dengan jalur ini, aku lebih dapat menghargai nafkah yang dikasih suami. perempuan itu kerap begitu sulit bila tanpa harta, dan juga karna harta pula perempuan kerap kurang ingat kodratnya” Lanjutnya lagi, tidak membagikan peluang bagiku buat berbicara.

“Beberapa hari yang lalu, aku berkunjung ke rumah orang tua, dan juga menggambarkan hasrat aku ini. aku sedih, karna orang tua, dan juga saudara - saudara aku malah tidak terdapat yang menunjang hasrat aku buat menyudahi berkerja. setimpal perkiraan saya, mereka malah membanding - bandingkan pekerjaan suami aku dengan yang lain.”

Aku masih terdiam, bisu mendengar keluh kesahnya. Subhanallah, apa saya dapat serupa dia? Menerima wujud pangeran apa adanya, terlebih lagi rela meninggalkan pekerjaan.

“Kak, bukankah kita wajib memikirkan masa depan? Kita kerja pula kan buat kanak - kanak kita kak. pengeluaran hidup saat ini ini mahal. Begitu banyak orang yang perlu pekerjaan. Nah kakak malah pengen menyudahi kerja. Suami kakak juga penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai - santai saja di rumah.

Salah kakak pula sih, kalo ingin jadi bunda rumah tangga, sepatutnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang bernazar melamar kakak duluan saat sebelum sama yang ini. tetapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, hanya suami kakak yang tidak memiliki pemasukan senantiasa dan juga yang amat buat kami kesal, kayaknya suami kakak itu lebih suka hidup serupa ini, ditawarin kerja di bank oleh kerabat seorang diri yang mau membantupun tidak mau, hingga heran aku, apa maunya suami kakak itu”. Ceritanya berulang mengalir, menggambarkan perkataan adik perempuannya dikala dimintai pendapat.

“anti tau, aku cuma dapat menangis dikala itu. aku menangis bukan karna apa yang dikatakan adik aku itu benar, Demi Allah bukan karna itu. tetapi aku menangis karna imam aku sudah ditatap RENDAH olehnya.

Bagaimana bisa jadi ia menyepelehkan tiap tetes keringat suami saya, sementara itu dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia ?
Bagaimana bisa jadi ia menghina orang yang tetap membangunkan aku buat sujud dimalam hari ?
Bagaimana bisa jadi ia menghina orang yang dengan perkata lembutnya senantiasa menenangkan hati aku ?
Bagaimana bisa jadi ia menghina orang yang berani tiba pada orang tua aku buat melamar saya, sementara itu dikala itu orang tersebut belum memiliki pekerjaan ?
Bagaimana bisa jadi seorang yang begitu aku muliakan, nyatanya begitu rendah di hadapannya cuma karna suatu pekerjaaan ?

Saya memutuskan menyudahi bekerja, karna tidak mau memandang orang membanding - bandingkan honor aku dengan honor suami saya.
Saya memutuskan menyudahi bekerja pula buat menghargai nafkah yang dikasih suami saya.
Saya pula memutuskan menyudahi bekerja buat penuhi hak - hak suami saya.

Saya berharap dengan begitu aku tidak lagi membantah perintah suami saya. Mudah - mudahan aku pula ridho atas besarnya nafkah itu. aku bangga dengan pekerjaan suami aku ukhty, amat bangga, terlebih lagi begitu menghormati pekerjaannya, karna tidak seluruh orang memiliki keberanian dengan pekerjaan serupa itu.

Disaat mayoritas orang lebih memilah jadi pengangguran dari pada melaksanakan pekerjaan yang serupa itu. namun suami saya, tidak terdapat kerasa malu menurutnya buat menafkahi istri dengan nafkah yang halal. seperti itu yang membikin aku begitu bangga pada suami saya.

Suatu dikala bila anti memperoleh suami serupa suami saya, anti tidak butuh malu buat menceritakannya pekerjaan suami anti pada orang lain. Bukan permasalahan pekerjaannya ukhty, tetapi permasalahan halalnya, berkahnya, dan juga kita meminta pada Allah, mudah - mudahan Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sembari tersenyum manis padaku. Mengambil tas laptopnya, bergegas mau meninggalkanku.

Kulihat dari kejauhan seseorang pria dengan memakai sepeda motor butut mendekat ke arah kami, mukanya ditutupi kaca helm, walaupun tidak terdapat niatku memandang mukanya. sembari mengucapkan salam, perempuan itu meninggalkanku. muka itu tenang sekali, muka seseorang istri yang begitu ridho.

Ya Allah….
Sekarang giliran saya yang menangis. Hari ini saya mampu pelajaran amat berkesan dalam hidupku. Pelajaran yang membuatku menghapus wujud pangeran kaya yang terdapat dalam benakku..Subhanallah..Walhamdulillah..Wa Laa ilaaha illallah…Allahu Akbar

Semoga pekerjaan, harta dan juga kekayaan tidak sempat menghalangimu buat tidak menerima pinangan dari pria yang baik agamanya..


Sumber:
http_www_akhwatmuslimah_com/2013/11/19/1451/kisah-nyata-inilah-alasanku-berhenti-menjadi-wanita-karir

Baca Juga

Kisah Nyata: Inilah Alasanku Berhenti Menjadi Wanita Karir
4/ 5
Oleh
Tampilkan Komentar
Sembunyikan