Tampilkan postingan dengan label nafkah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label nafkah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Juni 2016

Wahai Istri Bacalah Ini: Inilah Balasan Bagi Istri Yang Nafkahi Suami Dan Anaknya

di era nabi, ada seseorang perempuan yang jadi salah satu istri dari teman dia shallallahu alaihi wasallam. perempuan tersebut bernama zainab ats tsaqafiyyah. dia menggambarkan wujud perempuan yang menekuni dunia bisnis dan juga jadi seseorang pengrajin.

dari hasil penjualan kerajinannya tersebut, dia menafkahi kehidupannya berbarengan suami dan juga anak - anaknya. tetapi nyatanya apa yang telah dikerjakannya membikin dia terasa galau karna tiap harinya dia tidak sanggup buat bersedekah dan juga menghabiskan seluruh yang dia mampu buat keperluan keluarga. dia tidak ketahui balasan untuk istri yang nafkahi suami dan juga anaknya.

zainab mengatakan pada suaminya “sesungguhnya engkau dan juga anak kita telah menghalangiku buat bersedekah di jalur allah. tolong tanyakan kepada rasulullah, bila yang kulakukan ini tercantum kebaikan hendak saya lanjutkan. dan juga bila bukan tercantum kebaikan, saya hendak menyudahi mengerjakannya”.

suaminya yang nyatanya abdullah bin mas’ud r. a juga menghadiri dan juga mengantarkan persoalan si istri kepada rasul. sehabis rasul mendengar pertanyaan yang di informasikan oleh abdullah bin mas’ud, rasul juga menanggapi sebagaimana termaktub dalam kitab hilyatul auliya “nafkahilah mereka (anak dan juga suami) sebetulnya bagimu pahala yang engkau infaqkan buat mereka”.

seperti itu cerita yang telah terjalin dikala jaman rasul terdapat dan juga saat ini keadaan tersebut terus menjadi dialami oleh kalangan muslimin yang cukup kesusahan mencari pekerjaan buat pria dan juga mudahnya mencari pekerjaan untuk seseorang wanita.

hingga apa yang dapat kita ambil hikmahnya hendak peristiwa tersebut merupakan kalau amal shaleh tentu hendak mendatangkan balasan yang baik. apa yang dicoba oleh zainab ats tsaqafiyyah terhadap anak dan juga suaminya menggambarkan suatu kebaikan dan juga itu hendak dicatat sebagaimana sedekah yang mau dia jalani.

perihal ini tentu tidaklah suatu pembenaran hendak watak malas si suami dalam mencari nafkah ataupun menyuruh si istri bekerja sedangkan suami enak - enakan diam di rumah tanpa terasa bersalah. keadaan abdullah bin mas’ud diatas benar tidak memadai buat hidup tiap hari sampai - sampai istrinya juga wajib ikhlas menolong si suami memperoleh pemasukan.

lakukanlah upaya yang tersadu dan juga kita dapat buat penuhi kebutuhan rumah tangga. bila juga istri wajib bekerja itu menggambarkan suatu trik supaya dapat penuhi kebutuhan hidup dan juga bukannya buat menyirnakan kewajiban mencari nafkah untuk suami.

buat kamu para istri yang ikut mencari nafkah.. . . berbahagialah karna apa yang telah kamu nafkahkan buat keluarga hendak dicatat jadi sesuatu amalan yang seragam dengan sedekah tanpa dikurangi sedikit juga.

mudah - mudahan informasi ini berguna, mohon disebarkan supaya lebih banyak yang membaca pesan ini.
mudah - mudahan berguna baik kepada pembaca ataupun kepada penyampai.. . aamiin




 [sumber: matatasbih.blogspot.co.id]

Rabu, 11 Mei 2016

Wahai Istri Bacalah Ini: Inilah Balasan Bagi Istri Yang Nafkahi Suami Dan Anaknya

Di zaman Nabi, terdapat seorang wanita yang menjadi salah satu istri dari sahabat beliau Shallallahu Alaihi Wasallam. Wanita tersebut bernama Zainab ats Tsaqafiyyah. Ia merupakan sosok wanita yang menekuni dunia bisnis dan menjadi seorang pengrajin.


Dari hasil penjualan kerajinannya tersebut, ia menafkahi kehidupannya bersama suami dan anak-anaknya. Namun ternyata apa yang telah dilakukannya membuat ia merasa galau karena setiap harinya ia tak mampu untuk bersedekah dan menghabiskan semua yang ia dapat untuk keperluan keluarga. Ia tak tahu balasan bagi istri yang nafkahi suami dan anaknya.

Zainab berkata pada suaminya “Sesungguhnya engkau dan anak kita telah menghalangiku untuk bersedekah di jalan Allah. Tolong tanyakan kepada Rasulullah, jika yang kulakukan ini termasuk kebaikan akan aku lanjutkan. Dan jika bukan termasuk kebaikan, aku akan berhenti mengerjakannya”.

Suaminya yang ternyata Abdullah bin Mas’ud r.a pun mendatangi dan menyampaikan pertanyaan sang istri kepada Rasul. Setelah Rasul mendengar pertanyaan


yang disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud, Rasul pun menjawab sebagaimana termaktub dalam kitab Hilyatul Auliya “Nafkahilah mereka (anak dan suami) sesungguhnya bagimu pahala yang engkau infaqkan untuk mereka”.

Itulah kisah yang telah terjadi saat jaman Rasul ada dan kini kondisi tersebut semakin dirasakan oleh kaum muslimin yang cukup kesulitan mencari pekerjaan untuk laki-laki dan mudahnya mencari pekerjaan bagi seorang perempuan.

Maka apa yang bisa kita ambil hikmahnya akan kejadian tersebut adalah bahwa amal shaleh pasti akan mendatangkan balasan yang baik. Apa yang dilakukan oleh Zainab ats Tsaqafiyyah terhadap anak dan suaminya merupakan sebuah kebaikan dan itu akan dicatat sebagaimana sedekah yang ingin ia lakukan.

Hal ini tentu bukanlah sebuah pembenaran akan sifat malas sang suami dalam mencari nafkah atau menyuruh sang istri bekerja sementara suami enak-enakan diam di rumah tanpa merasa bersalah. Kondisi Abdullah bin Mas’ud diatas memang tidak mencukupi untuk hidup sehari-hari sehingga istrinya pun harus ikhlas membantu sang suami mendapatkan penghasilan.

Lakukanlah upaya yang terbaik dan kita bisa untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jika pun istri harus bekerja itu merupakan sebuah cara agar bisa memenuhi kebutuhan hidup dan bukannya untuk menghilangkan kewajiban mencari nafkah bagi suami.

Untuk kalian para istri yang turut mencari nafkah.... Berbahagialah karena apa yang telah kalian nafkahkan untuk keluarga akan dicatat menjadi suatu amalan yang serupa dengan sedekah tanpa dikurangi sedikit pun.

Semoga artikel ini bermanfaat,mohon disebarkan agar lebih banyak yang membaca pesan ini.
Semoga bermanfaat baik kepada pembaca maupun kepada penyampai...Aamiin




(sumber: matatasbih.blogspot.co.id)

Minggu, 01 Mei 2016

ISTRI BACA INI : Inilah Balasan Bagi Istri Yang Nafkahi Suami Dan Anaknya

Di zaman Nabi, terdapat seorang wanita yang menjadi salah satu istri dari sahabat beliau shallallahu alaihi wasallam. Wanita tersebut bernama Zainab ats Tsaqafiyyah. Ia merupakan sosok wanita yang menekuni dunia bisnis dan menjadi seorang pengrajin.


Dari hasil penjualan kerajinannya tersebut, ia menafkahi kehidupannya bersama suami dan anak-anaknya. Namun ternyata apa yang telah dilakukannya membuat ia merasa galau karena setiap harinya ia tak mampu untuk bersedekah dan menghabiskan semua yang ia dapat untuk keperluan keluarga. Ia tak tahu balasan bagi istri yang nafkahi suami dan anaknya.

Zainab berkata pada suaminya “Sesungguhnya engkau dan anak kita telah menghalangiku untuk bersedekah di jalan Allah. Tolong tanyakan kepada Rasulullah, jika yang kulakukan ini termasuk kebaikan akan aku lanjutkan. Dan jika bukan termasuk kebaikan, aku akan berhenti mengerjakannya”.

Suaminya yang ternyata Abdullah bin Mas’ud r.a pun mendatangi dan menyampaikan pertanyaan sang istri kepada
Rasul. Setelah Rasul mendengar pertanyaan yang disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud, Rasul pun menjawab sebagaimana termaktub dalam kitab Hilyatul Auliya “Nafkahilah mereka (anak dan suami) sesungguhnya bagimu pahala yang engkau infaqkan untuk mereka”.

Itulah kisah yang telah terjadi saat jaman Rasul ada dan kini kondisi tersebut semakin dirasakan oleh kaum muslimin yang cukup kesulitan mencari pekerjaan untuk laki-laki dan mudahnya mencari pekerjaan bagi seorang perempuan.

Maka apa yang bisa kita ambil hikmahnya akan kejadian tersebut adalah bahwa amal shaleh pasti akan mendatangkan balasan yang baik. Apa yang dilakukan oleh Zainab ats Tsaqafiyyah terhadap anak dan suaminya merupakan sebuah kebaikan dan itu akan dicatat sebagaimana sedekah yang ingin ia lakukan.

Hal ini tentu bukanlah sebuah pembenaran akan sifat malas sang suami dalam mencari nafkah atau menyuruh sang istri bekerja sementara suami enak-enakan diam di rumah tanpa merasa bersalah. Kondisi Abdullah bin Mas’ud diatas memang tidak mencukupi untuk hidup sehari-hari sehingga istrinya pun harus ikhlas membantu sang suami mendapatkan penghasilan.

Lakukanlah upaya yang terbaik dan kita bisa untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jika pun istri harus bekerja itu merupakan sebuah cara agar bisa memenuhi kebutuhan hidup dan bukannya untuk menghilangkan kewajiban mencari nafkah bagi suami.

Untuk kalian para istri yang turut mencari nafkah.... Berbahagialah karena apa yang telah kalian nafkahkan untuk keluarga akan dicatat menjadi suatu amalan yang serupa dengan sedekah tanpa dikurangi sedikit pun


(Sumber: muslimsatu.com)

Sabtu, 30 April 2016

Orangtua ataukah Istri, Manakah yang Harus Didahulukan ?

Persoalan suami yang mendahulukan orangtua daripada anak-istrinya seringkali menjadi salah satu faktor pertengkaran keluarga. Tapi, bukankah seorang anak juga tidak boleh menelantarkan orangtuanya sendiri?

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Ayah-ayah kamu dan anak-anak kamu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka itu yang lebih dekat manfaatnya buat kamu. (Yang demikian itu) adalah satu ketentuan dari Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” (an-Nisa’: 11)

Sementara itu, Allah juga telah mengingatkan bahwa hanya Allah yang boleh menjadikan posisi orangtua menjadi prioritas kedua bagi seorang anak. Tidak boleh ada hal lain yang membuat seseorang menggeser prioritas orangtuanya, kecuali Allah.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-sekali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik” (QS. Al-Isra: 23)

Orangtua yang telah melahirkan kita ke dunia, membesarkan dan memberikan pendidikan kepada kita memanglah keluarga yang harus kita dahulukan prioritasnya. Tapi, bukankah istri yang telah kita halalkan dan juga anak-anak yang merupakan darah daging kita juga adalah keluarga?

Kedua-duanya adalah juga keluarga, meski kita mungkin baru bertemu dengan istri setelah dewasa, bukan sepanjang hidup seperti kita dengan orangtua. Maka, sebaiknya seorang lelaki dapat menyeimbangkan kebutuhan keduanya, sehingga tidak ada satupun yang merasa terpinggirkan.

Seorang istri juga sepatutnya menyadari bahwa dengan menjadikan lelaki tersebut sebagai imamnya, ia juga telah bergabung menjadi keluarga si lelaki, yang berarti orangtua si lelaki adalah orangtuanya juga.

“Jika Allah ta’ala memberikan kepada salah seorang di antara kalian kebaikan – nikmat atau rezeki, maka hendaknya dia memulai dengan dirinya dahulu dan keluarganya” (HR. Muslim)

 

(Sumber : Dailymoslem.com)

Rabu, 20 April 2016

Ternyata Nafkah Istri Berbeda Dengan Uang Belanja

Banyak orang menganggap bahwa nafkah yang wajib diberikan seorang suami kepada istrinya adalah uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, atau yang biasa disebut sebagai uang belanja.

Namun, tahukah kamu, ternyata nafkah istri dan uang belanja adalah dua hal yang berbeda. Uang belanja berupa uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan, membayar rekening listrik dan air, dan biaya kebutuhan hidup lainnya. Sedangkan nafkah istri adalah yang khusus yang diberikan suami kepada istrinya atau uang jajan.

Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa’: 34)

Sudah menjadi kewajiban seorang suami yang harus memberi nafkah kepada istrinya berupa uang belanja dan nafkah khusus untuk istri atau uang jajan.

Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:

“Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).” (HR. Muslim: 2137)

Dalam hadist ini disebutkan dua nafkah yang wajib diberikan seorang suami kepada istrinya, yaitu rizki (uang belanja) dan pakaian (nafkah istri).

Namun, Islam juga tidak memberatkan kepada para lelaki untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Para suami memang wajib memberikan nafkah pada istrinya, namun tetap sesuai dengan kemampuannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf, Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS.al-Baqarah: 233)

Para istri juga harus memiliki sifat qana’ah dengan cara bersyukur untuk setiap rizki yang diberikan suaminya dan mengaturnya sebaik mungkin, seperti yang dinasehatkan Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam saat Hindun binti Itbah mengadu pada Rasul tentang suaminya yang kikir. Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:

“Ambil-lah nafkah yang cukup untukmu dan anak- anakmu dengan cara yang wajar.” (HR.Bukhori:  4945)

Nah, untuk para suami, mulai sekarang sisihkan uang untuk memberi nafkah istri juga selain untuk memberi uang belanja. Untuk para istri, boleh mengingatkan suaminya untuk memenuhi kewajiban nafkah istri, namun lakukan dengan cara yang wajar dan bersyukurlah atas setiap nafkah yang diberikan suami. Insha Allah akan membawa berkah dalam kehidupan keluarga. Aamiin.




(Sumber: dailymoslem.com)

Minggu, 10 April 2016

Masya Allah..!!! Ternyata Pahala Yang Paling Besar Adalah Apa Yang Engkau Berikan Untuk Istrimu


Satu dinar yg engkau belanjakan untuk perang di jalan Allah SWT dan satu dinar yg engkau belanjakan untuk istrimu, yg paling besar pahalanya ialah apa yg engkau berikan kepada istrimu. (HR. Bukhari Muslim)


Dari hadits diatas dijelaskan bahwa harta yg diberikan (nafkahkan) kepada keluarganya, lebih utama dari pada mendermakan harta bendanya untuk perjuangan Islam. Lantas bagaimana jika ada seorang laki-laki memiliki seorang istri sering ditinggalkan dengan alasan dakwah, sementara kondisi anak-anak dan istrinya tidak terurus alias sengsara. Rasulullah SAW memang seorang muballigh dan dai, tetapi beliau selalu memperhatikan kebutuhan lahir batin istri-istrinya.

Begitu besar perhatian Rasulullah SAW, terhadap hak-hak kaum hawa, sehingga Nabi SAW mengajarkan kepada kaum laki-laki cara terbaik untuk memuliakan seorang wanita. Sampai-sampai beliau tidak rela seorang istri menderita, karena ulah para suami yang pelit dan menelantarkan istrinya.

Hendaknya para suami mengetahui bahwa nafkah yang ia berikan kepada keluarganya tidaklah bernilai sia-sia di hadapan Allah. Bahkan nafkah itu terhitung sebagai amalan sedekahnya, sebagaimana hadits dari Abu Mas’ud Al-Anshari dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda:

“Apabila seorang muslim memberi nafkah kepada keluarganya dan dia mengharapkan pahala dengannya maka nafkah tadi teranggap sebagai sedekahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


    “Apabila seorang muslim memberi nafkah kepada keluarganya dan dia mengharapkan pahala dengannya maka nafkah tadi teranggap sebagai sedekahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
    “Dan apa pun yang engkau nafkahkan maka itu teranggap sebagai sedekah bagimu sampaipun suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu.” (HR. Al-Bukhari)
    Dalam riwayat Muslim disebutkan:
    “Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yang dengannya engkau mengharap wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala dengannya sampaipun satu suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu”.
    Masya Allah.. Tidak tanggung-tanggung Rasulullah SAW mbelani (menjunjung tinggi) kaum hawa dari sikap pelit seorang suami yang tidak bertanggung jawab kepadanya.



Beruntung sekali bagi seorang istri yang memiliki suami dermawan kepada dirinya. Rasulullah SAW sosok suami yang paling dermawan kepada istri-istrinya, juga kepada sahabat, kerabat, dan tetangganya.

Kedermawanan Rasulullah SAW menjadikan istri-istrinya makin mencintai dan menyayanginya, sehingga seorang istri tidak merasakan, kecuali suami adalah orang yg paling sempurna di hadapannya. Masya Allah..


Sumber: http_www_redaksimuslim_com

Jumat, 08 April 2016

Mana yang Harus Di Utamakan? Menafkahi Istri Atau Ibu Kandung Terlebih Dahulu ? Ini Jawabannya

Mana yang Harus diutamakan? Menafkahi ISTRI? Ataukah IBU KANDUNG? Assalamualaikum wr. Wb.

Ustad/ustdzah saya Iva, wanita dan sudah menikah. Saya bekerja dan memiliki anak 1 masih balita. Saya ingin bertanya, bagaimana islam memandang apabila dalam rumah tangga istri harus memenuhi kebutuhan sendiri & anak, dikarenakan suami harus membyar cicilan pinjaman di bank & memberikan nafkah ke ibunya, sedangkan ibu mertua mampu & msih dapat nafkah dari bapak mertua & dari kakak ipar setiap bulannya.



Suami takut ibunya marah jika tidak dikasih. Jadi suami tidak bisa menafkahi istri dan anak. Apakah dalam islam berdosa ustad/ustdzah ? Apakah islam memandang apabila tidak memberi nafkah ke ibunya, suami saya berdosa ? Apakah tidak bisa memberi nafkah istri dan anak termasuk mendzalimi istri & anak ? Mana yang harus didahulukan istri & anak atau ibunya? Sblm menikah saya seorang yatim & saya juga msih menjadi tulang punggung keluarga untuk menafkahi ibu saya dan adik saya sampai saat ini. Bagaimana islam memandang permasalahan ini, mhon jwabanya ustad/ustadzah. Sukron. Wassalam,

Jawaban :

Assalamu alaikum wr.wb Alhamdulillahi Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba'du:

Dalam Islam jelas bahwa seorang suami bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Alquran surat an-Nisa ayat 34 dan al-Baqarah 233. Meskipun kondisi isteri mampu, berkecukupan, bahkan kaya, kewajiban untuk memberikan nafkah keluarga tetap menjadi tanggung jawab suami, kecuali kalau isteri ridha dg keadaan yang
ada. Namun jika tidak, dan suami tetap tidak mau memberikan nafkah kepada isteri dan anak, maka sang suami berdosa. Rasul saw bersabda, "Cukuplah seseorang mendapat dosa jika ia menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya."

Selanjutnya seorang suami memang dituntut untuk memberikan nafkah kepada isteri dan anak, serta kepada kedua orang tuanya jika mereka berada dalam kondisi membutuhkan dan kekurangan. Kalau suami bisa memenuhi kebutuhan mereka semua, maka wajib baginya untuk memenuhi.

Namun jika penghasilan atau hartanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan semua, maka harus ada prioritas. Yaitu yang harus didahulukan adalah isteri dan anak yang memang berada dalam tanggung jawab utamanya sebagai seorang suami. Hal ini berdasarkan sabda Rasul saw, "Mulailah dari dirimu dengan bersedekah (memberikan nafkah) untuknya. Lalu jika ada yang tersisa maka untuk keluargamu (isteri dan anakmu). Jika masih ada yang tersisa, maka untuk karib kerabatmu (orang tua, saudara dst), dan begitu seterusnya."

Imam an-Nawawi berkata, "Apabila pada seseorang berhimpun orang-orang membutuhkan dari mereka yang harus ia nafkahi, maka bila hartanya cukup untuk menafkahi semuanya, ia harus menafkahi semuanya, baik yang dekat maupun yang jauh. Namun apabila sesudah ia menafkahi dirinya, yang tersisa hanya nafkah untuk satu orang, maka ia wajib mendahulukan isteri daripada karib kerabatnya yang lain...(Raudhah ath-Thalibin).

Melihat pada kasus Anda, hendaknya suami mendahulukan yang menjadi kewajibannya, yaitu menafkahi isteri dan anak. Jika kondisinya benar-benar tidak mampu menafkahi ibunya, maka suami tidak berdosa karena Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Hanya saja, hal ini harus dibicarakan secara baik-baik disertai dg pemberian pemahaman. Kalau ibu masih tetap bersikeras untuk mendapat nafkah suami, sementara Anda sebagai isteri ridha demi untuk menjaga keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga, maka Anda mendapatkan pahala yang besar insya Allah. Namun jika tidak ridha, Anda berhak untuk menuntut suami.

Semoga Allah memberikan keberkahan dan jalan keluar terbaik bagi Anda sekeluarga.
Wallahu a'lam.
Wassalamu alaikum wr.wb. 



Sumber: http_www_reportaseterkini_net

Kamis, 24 Maret 2016

Banyak Yang Salah Sangka, Ternyata Nafkah Istri dan Uang Belanja Tidak Sama

 Banyak orang menyangka kalau nafkah yang harus dikasih seseorang suami kepada istrinya merupakan duit buat memadai kebutuhan sehari - hari, ataupun yang biasa diucap bagaikan duit belanja.

Dilansir Aam.my, namun, mengerti kah kamu, nyatanya nafkah istri dan juga duit belanja merupakan 2 perihal yang berbeda.

Uang belanja berbentuk duit buat penuhi kebutuhan tiap hari serupa makan, membayar rekening listrik dan juga air, dan juga pengeluaran kebutuhan hidup lainnya.

Sedangkan nafkah istri merupakan yang spesial yang dikasih suami kepada istrinya ataupun duit jajan.

Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Kaum pria itu merupakan pemimpin untuk kalangan wanita, oleh karna Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki - laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan juga karna mereka (laki - laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An - Nisa’: 34)

Sudah jadi kewajiban seseorang suami yang wajib berikan nafkah kepada istrinya berbentuk duit belanja dan juga nafkah spesial buat istri ataupun duit jajan.

Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:
“Dan mereka (para istri) memiliki hak diberi rizki dan juga baju (nafkah) yang diharuskan atas kalian sekaligus (wahai para suami).” (HR. Muslim: 2137)
Dalam hadist ini disebutkan 2 nafkah yang harus dikasih seseorang suami kepada istrinya, ialah rizki (uang belanja) dan juga baju (nafkah istri).
Namun, Islam pula tidak memberatkan kepada para lelaki buat membagikan nafkah kepada istrinya. Para suami benar harus membagikan nafkah pada istrinya, tetapi senantiasa setimpal dengan kemampuannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan kewajiban bapak berikan makan dan juga baju kepada para bunda dengan trik ma’ruf, seorang tidak dibebani melainkan bagi kandungan kesanggupannya.” (QS.al - Baqarah: 233)
Para istri pula wajib mempunyai watak qana’ah dengan trik bersyukur buat tiap rizki yang dikasih suaminya.

Dan mengaturnya sebaik mungkin, serupa yang dinasehatkan Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam dikala Hindun binti Itbah mengadu pada Rasul tentang suaminya yang kikir.
Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:
“Ambil - lah nafkah yang cukup untukmu dan juga anak - anakmu dengan trik yang wajar.” (HR.Bukhori: 4945)

Nah, buat para suami, mulai saat ini sisihkan duit buat berikan nafkah istri pula tidak hanya buat berikan duit belanja.

Untuk para istri, boleh menegaskan suaminya buat penuhi kewajiban nafkah istri, tetapi jalani dengan trik yang normal dan juga bersyukurlah atas tiap nafkah yang dikasih suami.

Insha Allah hendak bawa berkah dalam kehidupan keluarga. Aamiin. 


Sumber:
http_www_catatancerdas_com/berita/banyak-yang-salah-sangka-ternyata-nafkah-istri-dan-uang-belanja-tidak-sama.html

Jumat, 11 Desember 2015

Suami Pelit dalam Menafkahi Istri, Bagaimana Hukumnya?

Sahabat Ummi, dalam berbagai kesempatan saya berbincang dengan ibu-ibu, terkuaklah kisah yang tersembunyi dan jarang diungkapkan mereka, karena khawatir dianggap mereka tidak ridho dengan pemberian suami. Secara tersirat, bahkan ada beberapa yang menyatakan jika mereka tidak diberi ‘keadilan’ suaminya berhubungan dengan pemberian nafkah yang layak.
Nafkah suami adalah hal yang paling penting dalam sebuah pernikahan. Entah nafkah lahir yang berhubungan dengan pemberian sejumlah uang atau barang untuk keperluan sehari-hari istri berikut keluarganya, maupun nafkah yang berhubungan dengan rasa aman, nyaman atau hubungan selayaknya suami istri.
Dari beberapa diskusi, terkuaklah jika para istri ini mengeluhkan beberapa hal, salah satunya pemberian nafkah yang kurang layak bagi mereka, padahal suami sangat berkecukupan, ada pula karena sang istri juga bekerja, maka suami memberikan nafkahnya secara ala kadarnya, karena merasa ‘istri harus bagi hasil’ untuk cukupi kebutuhan rumah tangganya yang akhirnya pembagian mencukupi kebutuhan rumah tangga jadi “tak adil”, istri ternyata menempati porsi terbanyak mencukupi kebutuhan rumah tangga. Sampai ada pula istri yang mengeluh sama sekali tak diberikan nafkah lahir karena berhubungan tidak harmonisnya rumah tangga mereka.
Sebenarnya Islam memandang nafkah untuk istri ini seperti apa? Jika para suami menelaah satu saja ayat Al Qur’an tentu ia akan memahami fungsinya sebagai kepala rumah tangga. “Wajib bagi setiap suami untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada istri, dengan sepantasnya.” (Q.S. Al-Baqarah:233)
Wajib disini mengandung pengertian sederhana namun tegas, jika tak ada yang lebih pantas menafkahi istri dan anak-anaknya, memberikan pakaian, perumahan, mencukupinya makan dan beberapa kebutuhan pokok lainnya, melainkan semuanya dalam tanggungan suaminya. Jika suami dalam keadaaan kurang mampu menanggungnya, maka jika istri bekerja untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarganya, maka itu terhitung sebagai sedekah untuk keluarga, bukan sebagai ‘pemberi pokok’, kecuali jika suami sakit keras atau tidak ketahuan di mana keberadaannya, atau dalam keadaan darurat lainnya, seperti karena suatu hal harus mendekam di penjara.

Dan jika tak ada hal penyulit atau darurat seperti itu, suami adalah orang yang mampu bekerja dengan baik dan menghasilkan uang yang sangat cukup, maka ia wajib memberikan nafkah secara layak kepada istri dan keluarga. Sedang suami yang tidak memberikan nafkah kepada istri dengan tidak layak padahal ia bisa memberikannya, maka suami telah melakukan perbuatan zalim kepada istrinya. Dan tentulah zalim itu adalah perbuatan dosa.
Lalu, bagaimana sebaiknya istri menyikapi hal ini, dan bagaimana sebenarnya Islam memandang permasalahan mengenai nafkah ini?
1. Suami wajib memberikan nafkah kepada istri, baik lahir maupun batin. Melalaikan hal ini berarti perbuatan zalim, mengingkari ayat-ayat Allah.
2. Jika suami bakhil, pelit terhadap istrinya dan tidak memberikan nafkah tersebut secara layak, padahal ia mampu memberikannya, dan suami hanya menumpuk harta dan kekayaannya untuk kepentingannya sendiri dan melalaikan kepentingan pokok istri dan keluarganya, maka hal tersebut sangat menjadi perhatian Rasulullah:
Dari ‘Aisyah bahwa Hindun binti ‘Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan (suamiku, Pen) seorang laki-laki yang bakhil. Dia tidak memberi (nafkah) kepadaku yang mencukupi aku dan anakku, kecuali yang aku ambil darinya sedangkan dia tidak tahu”. Maka beliau bersabda: “Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan patut.”[HR Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714]
Hadits tersebut mengisyaratkan, sebenarnya ada bagian dari istri untuk harta suami untuk nafkahnya juga kehidupan keluarga dan jumlahnya pun sewajarnya. Istri bahkan boleh mengambil harta suami tanpa izin, sesuai dengan kebutuhannya.
3. Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlaan bahkan mengomentari secara khusus mengenai kasus suami pelit pada istrinya, beliau berkata “Memang ada kewajiban nafkah untuk istri. Dan nafkah itu diukur apa yang bisa mencukupi istri dan anak-anaknya dengan memberikannya secara ma’ruf yang berarti nafkah itu diberikan secara patut, pada umumnya dan baik”. Selanjutnya ia menambahkan jika suami tidak memberikan secara patut maka istri boleh mengambil harta suami tanpa sepengetahuan atau izinnya namun juga secara ma’ruf.
4. Mengambil harta suami tanpa sepengetahuan jika suami pelit ini memang ada rambu-rambunya, jadi harus dengan ma’ruf yakni tak berlebih-lebihan sekedar cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
5. Jika Suami tidak bisa memberikan harta karena dalam kesusahan atau kemiskinan, maka istri dianjurkan untuk ridha sekaligus bersabar dengan itu, dan sebaiknya istri membantu untuk mencari nafkah keluarga.
6. Istri yang bekerja dan mempunyai penghasilan, jika ia memberikan penghasilannya untuk membantu keperluan keluarga, maka itu hanya sebagai sedekah saja, dan itu tetap menjadi penghasilan dan harta istri, tak ada kewajiban (sebenarnya) dalam membantu keluarga dengan uang atau harta tersebut, hingga suami sebenarnya sama sekali tidak boleh menguasai harta atau mengambil harta istrinya tanpa izin istrinya.
Hal ini diperkuat dengan dalilnya: hadis dari Abu Said Al-Khudri, bahwa suatu ketika, Zainab (istri Ibnu Mas’ud) hendak membayar zakat perhiasan yang dia miliki. Kemudian beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bolehkah istri memberikan zakatnya kepada suaminya dan anak yatim dalam asuhannya?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ya, silakan. Dia mendapat dua pahala: pahala menjaga hubungan kekerabatan dan pahala bersedekah.” (HR. Bukhari 1466)
Dalam hal ini tersirat jika kondisi diatas menandakan jika istri Ibnu Mas’ud sangat kaya raya, dan suaminya adalah orang miskin. Ini menunjukkan jika Ibnu Mas’ud sama sekali tidak menguasai harta istrinya, meski dia adalah seorang yang miskin. Dan Istrinya juga memiliki dedikasi baik, terbukti untuk memberikan sebagian hartanya sebagai zakat maal untuk suaminya itu. Jadi sangat jelas kewajiban nafkah itu sebenarnya ada di pundak suami.
Sahabat Ummi dari uraian di atas tersebut jelaslah jika kebutuhan nafkah itu memang kewajiban suami, melalaikan kewajiban itu adalah sesuatu yang zalim. Jika istri bekerja, itu memang melakukan tugas untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga atau untuk menerapkan ilmunya dan membantu sesamanya.
Penghasilan istri adalah mutlak milik istrinya. Jika ia membagi penghasilan itu untuk keluarga, itu sebagai sedekah baik untuknya, suami dilarang mengotak-atik harta istri tanpa ridhanya, bahkan sebaliknya istri tak perlu membutuhkan ridha suami saat suami melalaikan nafkah keluarga dan istri saat ia berpunya, atau mampu menafkahi dengan layak, dengan catatan harus dengan ma’ruf, mengambil sesuai dengan kebutuhan.
Segeralah bertobatlah suami-istri apabila keduanya sudah berbuat tidak ma’ruf dalam kehidupan rumah tangga dalam masalah nafkah, karena itu kezaliman yang amat dekat dengan neraka.

Sumber: http_www_redaksi9_com/2015/12/suami-pelit-dalam-menafkahi-istri.html

Suami, Ketahuilah Pahala Tiap Kali Beri Nafkah Istri

Ketika memutuskan menikah, maka seorang pria harus siap dengan tanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Mereka berkewajiban memastikan kebutuhan wanita yang dinikahinya ini tercukupi dengan jalan bekerja keras setiap hari.

Hal ini terkadang menjadi salah satu momok menakutkan ketika pria akan mengambil keputusan untuk berkeluarga. Pengalaman susahnya mengatur hidup sendiri, membuat pria berpikir berulang kali untuk hidup berdua. Terlebih jika sudah memiliki momongan, maka tanggungjawab akan semakin besar.

Namun jika mengacu pada ajaran Islam, memberi nafkah istri tidak sekedar memastikan bahwa mereka bisa makan dan melanjutkan hidup saja.

Lebih dari itu, tindakan ini merupakan sebuah ibadah dan memiliki pahala yang amat besar. Setiap kali memberikan istri nafkah, maka suami akan memperoleh pahala. Seperti apa? 

Pahala ketika memberi nafkah kepada istri lebih besar jika dibandingkan pahala saat memberikan harta untuk perjuangan agama Islam. Rasulullah SAW bersabda;

"Bertaqwalah kalian dalam masalah wanita. Sesungguhnya mereka ibarat tawanan di sisi kalian. Kalian ambil mereka dengan amanah Allah dan kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan rezki dan pakaian dari kalian". HR Muslim

"Bertaqwalah kalian dalam masalah wanita. Sesungguhnya mereka ibarat tawanan di sisi kalian. Kalian ambil mereka dengan amanah Allah dan kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan rezki dan pakaian dari kalian". HR Muslim

Pahala ketika memberi nafkah kepada istri lebih besar jika dibandingkan pahala saat memberikan harta untuk  perjuangan agama Islam. Rasulullah SAW bersabda bahwa,

“Satu dinar yang engkau belanjakan untuk perang di jalan Allah SWT dan satu dinar yang engkau belanjakan untuk istrimu, maka yang paling besar pahalanya ialah apa yang engkau berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dari segala jenis sedekah, ternyata yang memiliki pahala paling besar adalah memberi nafkah keluarga. Mulai dari infak di jalan Allah, membebaskan budak, sedekah orang miskin, maka yang dijanjikan pahala paling besar adalah saat memberikan untuk keluarga. 

"Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu" HR Muslim, Ahmad

Namun, dengan hal tersebut bukan serta merta istri boleh menuntut nafkah yang banyak kepada suaminya. Akan tetapi disesuaikan dengan keadaan umum yang diterima kalangan para isteri di negeri mereka, tanpa berlebih-lebihan ataupun pelit, sesuai dengan kesanggupannya dalam keadaan mudah, susah ataupun pertengahan.

"Dan hendaklah kamu berikan suatu pemberian kepada mereka. Orang yang mampu sesuai dengan kemampuannya dan orang yang miskin sesuai dengan kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut". [Al Baqarah:236].

Lalu kapan seorang pria berkewajiban memberiikan nafkah kepada istri? Para ulama berpendapat, tanggungjawan memberikan nafkah kepada istri dibebankan setelah berlangsungnya ijab qabul, meskipun istri masih tinggal di rumah orangtuanya dan belum tinggal bersama suami.

Dasar pendapat mereka, diantara konsekuensi dari akad yang sah, ialah sang isteri menjadi tawanan bagi suaminya. Dan apabila isteri menolak berpindah ke rumah suaminya tanpa ada udzur syar’i setelah suaminya memintanya, maka ia tidak berhak mendapat nafkah dikarenakan isteri telah berbuat durhaka (nusyuz) kepada suaminya dengan menolak permintaan suaminya tersebut.

Meski nantinya istri akan bekerja diluar rumah dan mendapatkan penghasilan sendiri, namun tidak membuat kewajiban suami ini hilang begitu saja. Istri yang bekerja dengan izin suami, harus tetap diberi nafkah. Namun jika mereka bekerja tanpa mendapat izin dari suaminya, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah.

Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar menjelaskan tentang alasan, mengapa isteri yang bekerja di luar rumah tanpa persetujuan suami tidak berhak tidak mendapat nafkah, ”Pendapat yang benar adalah, wanita yang bekerja tidak berhak mendapat nafkah. Karena suami mampu mencegahnya dari bekerja dan keluar dari rumah (dengan mencukupi nafkahnya), dan (menetapnya isteri di rumah suami) merupakan hak suaminya. Kewajiban suami memberi nafkah kepada isteri disebabkan karena status isteri yang menjadi tawanan suaminya dan ia wajib meluangkan waktunya untuk suaminya. Jika sang isteri bekerja (tanpa izin suaminya) dan mendapatkan uang, maka sebab yang menjadikan suami wajib memberikan nafkah kepadanya telah gugur.” Ahkamuz Zawaj, hlm. 282

Meski dengan kewajiban begitu besar, masih ada saja suami yang tidak bertanggungjawab memberi nafkah istri. Atau harta yang mereka dapatkan mereka simpan tanpa sepengetahuan istri, sementara istri, harus susah payah membagi uang belanja yang tidak cukup. Tentang suami yang bakhil ini, telah datang banyak nash yang memuat ancaman baginya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya sebagai berikut.

"Cukuplah sebagai dosa bagi suami yang menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya." HR Muslim.

Selain itu, Rasulullah juga sabda yang artinya:
"Tidaklah para hamba berada dalam waktu pagi, melainkan ada dua malaikat yang turun. Salah satu dari mereka berdoa,”Ya, Allah. Berikanlah kepada orang yang menafkahkan hartanya balasan yang lebih baik,” sedangkan malaikat yang lain berdoa,”Ya, Allah. Berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan hartanya (tidak mau menafkahkannya). Muttafaqun ‘alaihi

Dengan pahala yang demikian besar serta ancaman yang tidak main-main, seharusnya membuat para suami berpikir ulang untuk tidak menafkahi istri atau bersikap pelit kepada mereka. Karena sebenarnya, istri lah salah satu sebab Allah melancarkan rezeki suami. Karena dalam rezeki yang Allah beri kepada suami, selalu ada doa sang istri. Semoga artikel ini bermanfaat.

Sumber: http://www_infoyunik_com/2015/12/ketahui-pahala-untuk-suami-tiap-kali.html

Jumat, 13 November 2015

WAHAI SUAMI PAHAMILAH Nafkah adalah Hak Kuat untuk Istri

Di dalam rumah tangga terdapat hubungan dan keterkaitan hak dan kewajiban antara suami dengan istri, hak dan kewajiban ini diletakkan secara seimbang dan sejajar di antara suami istri, rumah tangga akan berjalan dan mengalir dengan baik dan lancar jika hak dan kewajiban ini dilaksanakan dan ditunaikan dengan benar dan konsekuen oleh suami dan istri, sebaliknya jika ada pihak dalam rumah tangga yang melalaikan kewajibannya maka secara otomatis ada pihak yang pasti merasa haknya terabaikan, dalam situasi seperti ini rumah tangga sangat riskan terhadap konflik dan perseteruan, penyebabnya adalah ketidakselarasan yang terjadi dalam hak dan kewajiban di antara suami dengan istri.

Dalam praktek di lapangan yang sering menjadi obyek sasaran dengan diabaikannya hak-haknya adalah istri, hal ini disebabkan –salah satunya- oleh kelemahan dari sisi fisik dan kelembutan dari sisi tabiat yang ada pada istri sebagai seorang wanita, sehingga hal ini sering dimanfaatkan oleh sebagian laki-laki yang buruk untuk menzhaliminya dengan tidak menunaikan sebagian dari hak-haknya atau seluruh hak-haknya. Seorang laki-laki datang kepada al-Hasan bin Ali, dia berkata, “Aku memiliki seorang anak perempuan, kepada siapakah aku menikahkannya?’ Al-Hasan menjawab, “Nikahkanlah kepada orang yang bertakwa, jika dia menyintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika dia tidak menyintainya maka dia tidak menzhaliminya.”

Islam menetapkan bahwa nafkah merupakan hak istri kewajiban suami, walaupun istri berkecukupan dan mampu menafkahi dirinya sendiri, hal ini tetap tidak menggugurkan haknya dalam nafkah selama istri tidak menggugurkannya dari suaminya. Kewajiban nafkah yang harus dipikul oleh suami ini ditetapkan oleh beberapa dalil dari al-Qur`an dan sunnah, di antaranya adalah :

Firman Allah, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233).

Firman Allah, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”(Ath-Thalaq: 7).

Sabda Nabi shallallohu 'alaihi wasallam dalam hadits Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Muslim, hadits haji yang panjang, beliau menyinggung para wanita dengan sabdanya,

وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالمَعْرُوْفِ.

“Dan untuk mereka atas kalian rizki dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.”

Dari Hakim bin Muawiyah dari bapaknya berkata, Aku berkata, “Ya Rasulullah, apa hak istri salah seorang diantara kami atasnya?” Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam menjawab,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوْهَا إِذَا كْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرُبِ الوَجْهَ، وَلاَ تُقَبِّح.

Hendaknya kamu memberinya makan apabila kamu makan, memberinya pakaian jika kamu berpakaian, jangan memukul wajah dan jangan berkata kepadanya, ‘Semoga Allah memperburukkanmu’.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh al-Hakim dan Ibnu Hibban).

Harta terbaik yang diinfakkan oleh seseorang adalah harta yang dia infakkan kepada keluarganya, infak kepada keluarga mengungguli infak-infak di bidang lainnya.

وعن ابي هريرة رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قال : قال رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًّمَ : دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلىَ أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلىَ أَهْلِكَ .

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam bersabda, “Satu dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, satu dinar yang kamu infakkan untuk memerdekakan hamba sahaya, satu dinar yang kamu infakkan kepada orang miskin dan satu dinar yang kamu infakkan kepada keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah yang kamu infakkan kepada keluargamu.”(HR. Muslim)

Hak nafkah untuk keluarga sangat ditekankan dalam Islam, seseorang akan memikul dosa yang tidak ringan jika dia menelantarkan orang yang semestinya dinafkahinya.

وعن عبد الله بن عمرو بن العاص رَضِيَ اللهُ عَنْهُما قال : قال رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًّمَ : كَفَى بِالمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ.

Dari Abdullah bin Amru bin al-Ash berkata, Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam bersabda, “Cukuplah seseorang itu memikul dosa besar apabila dia menyia-nyiakan orang yang seharusnya dia nafkahi.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh an-Nawawi dalam Riyadh ash-Shalihin no. 6/294).

Diriwayatkan oleh Muslim dengan maknanya, Nabi shallallohu 'alaihi wasallam bersabda, “Cukuplah seseorang itu memikul dosa besar jika dia menahan nafkah orang yang wajib dia nafkahi.”

Apabila nafkah tidak diberikan sepenuhnya oleh suami kepada istri sehingga istri dan anak-anaknya kekurangan maka istri diizinkan untuk mengambil dari harta suaminya sebatas yang dibutuhkan dengan cara yang ma’ruf tanpa sepengetahuan suami.

Dari Aisyah berkata, Hindun binti Utbah istri Abu Sufyan datang kepada Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam, dia berkata, “Ya Rasulullah, Abu Sufyan adalah suami yang pelit, dia tidak memberiku nafkah yang mencukupiku dan anak-anakku kecuali apa yang aku ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya, apakah aku berdosa karena itu?” Nabi shallallohu 'alaihiu wasallam bersabda,

خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالمَعْرُوْفِ مَايَكْفِيْكِ، وَيَكْفِي بَنِيْكِ .

Ambillah dari hartanya dengan cara yang ma’ruf apa yang mencukupimu dan anak-anakmu.” (Muttafaq alaihi).

Jika suami terbelit kesulitan sehingga dia tidak mampu memberi nafkah kepada istri dan istri tidak rela dengan kondisi tersebut maka istri berhak mengajukan hak fasakh pernikahan dengan alasan kesulitan suami dalam memberi nafkah, dalam kamus fuqaha dikenal dengan al-Faskhu bil i’sar.

Dari Said bin al-Musayyib tentang seorang laki-laki yang tidak memiliki apa yang dia nafkahkan kepada istrinya, dia berkata, “Keduanya dipisahkan.” Diriwayatkan oleh Said bin Manshur. Dan dari Sufyan ats-Tsauri dan Abu Zanad darinya berkata, Aku berkata kepada Said, “Sunnah?” Dia menjawab, “Sunnah.” Ibnu Hajar berkata dalam Bulugh al-Maram, “Ini adalah mursal yang kuat.”

Pengaruh Tabiat Istri Terhadap Cara Suami Mencari Nafkah

Hasan al-Bashri berkata:
“Aku datang kepada seorang pedagang kain di Mekkah untuk membeli baju, lalu si pedagang mulai memuji-muji dagangannya dan bersumpah, lalu akupun meninggalkannya dan aku katakan tidaklah layak beli dari orang semacam itu, lalu akupun beli dari pedagang lain.”

2 tahun setelah itu aku berhaji dan aku bertemu lagi dengan orang itu, tapi aku tidak lagi mendengarnya memuji-muji dagangannya dan bersumpah, Lalu aku tanya kepadanya:”Bukankah engkau orang yang dulu pernah berjumpa denganku beberapa tahun lalu?”Ia menjawab : “Iya benar”Aku bertanya lagi:”Apa yang membuatmu berubah seperti sekarang? Aku tidak lagi melihatmu memuji-muji dagangan dan bersumpah!”Ia pun bercerita:”Dulu aku punya istri yang jika aku datang kepadanya dengan sedikit rizki, ia meremehkannya dan jika aku datang dengan rizki yang banyak ia menganggapnya sedikit.

Lalu Allah mewafatkan istriku tersebut, dan akupun menikah lagi dengan seorang wanita. Jika aku hendak pergi ke pasar, ia memegang bajuku lalu berkata:’Wahai suamiku, bertaqwalah kepada Allah, jangan engkau beri makan aku kecuali dengan yang thayyib (halal). Jika engkau datang dengan sedikit rezeki, aku akan menganggapnya banyak, dan jika kau tidak dapat apa-apa aku akan membantumu memintal (kain)’.”Masya Allah…Milikilah sifat Qana’ah -suka menerima- / jiwa selalu merasa cukup.Biasanya Wanita (Istri) sering TERJEBAK pd KEINGINANnya tuk terlihat Cantik dgn Pakaian yg Serba Mahal.Janganlah menjadi jurang dosa bagi Suamimu.

Wanita shalihah akan mendorong Suaminya kpd kebaikan,keta’atan sedangkan wanita kufur akan menjadi pendorong bagi suaminya untuk berbuat dosa,kemakshiatan.CUKUPKAN DIRI DGN YG HALAL&BAIK. Ukuran Rizki itu terletak pada keberkahannya, bukan pada jumlahnya.

[Kitab al-Mujaalasah wa Jawaahirul ‘Ilm (5/252) karya Abu Bakr Ahmad bin Marwan ].

Bedanya Nafkah Istri dan Uang Belanja ?

Sudah menjadi kewajiban seorang suami memberi nafkah kepada sang istri. Berupa uang belanja dan nafkah khusus untuk istri atau uang jajan.
Jika Anda dan pasangan siap melangkah ke jenjang pernikahan, pelajari terlebih dahulu kewajiban yang harus dipatuhi oleh suami dan istri. Terutama nafkah kepada istri.
Banyak orang menganggap bahwa nafkah yang wajib diberikan seorang suami kepada istrinya adalah uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, atau yang biasa disebut sebagai uang belanja.
Namun, tahukah Anda ternyata nafkah istri dan uang belanja adalah dua hal yang berbeda. Uang belanja berupa uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan, membayar rekening listrik dan air, dan biaya kebutuhan hidup lainnya. Sedangkan nafkah istri adalah yang khusus yang diberikan suami kepada istrinya atau uang jajan.

Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa’: 34)

Sudah menjadi kewajiban seorang suami memberi nafkah kepada sang istri. bBerupa uang belanja dan nafkah khusus untuk istri atau uang jajan.

Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:
“Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).” (HR. Muslim: 2137)

Dalam hadist ini disebutkan dua nafkah yang wajib diberikan seorang suami kepada istrinya, yaitu rizki (uang belanja) dan pakaian (nafkah istri).

Namun, Islam juga tidak memberatkan kepada para lelaki untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Para suami memang wajib memberikan nafkah pada istrinya, namun tetap sesuai dengan kemampuannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf, Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS.al-Baqarah: 233)

Para istri juga harus memiliki sifat qana’ah dengan cara bersyukur untuk setiap rizki yang diberikan suaminya dan mengaturnya sebaik mungkin. Seperti nasehat Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam saat Hindun binti Itbah mengadu pada Rasul tentang suaminya yang kikir. Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:
“Ambil-lah nafkah yang cukup untukmu dan anak- anakmu dengan cara yang wajar.” (HR.Bukhori: 4945)

Nah, untuk para suami, mulai sekarang sisihkan uang untuk memberi nafkah istri juga selain untuk memberi uang belanja. Untuk para istri, boleh mengingatkan suaminya untuk memenuhi kewajiban nafkah istri, namun lakukan dengan cara yang wajar dan bersyukurlah atas setiap nafkah yang diberikan suami. Insha Allah akan membawa berkah dalam kehidupan keluarga. Aamiin.

Kamis, 12 November 2015

Ini yang Haram Jika Suami Memakan Gaji Istri

Idealnya suami dan istri saling bahu-membahu memenuhi kebutuhan rumah tangga, suami yang menafkahi, istri yang mengatur keuangan. Namun apabila istri juga bekerja, bagaimanakah hukum penghasilan istri?

Apakah suami memiliki hak mengambil gaji istri? Apakah istri berkewajiban memberi sebagian dari penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga? Berikut ini sedikit pembahasannya.
Berdasarkan fatwa ulama, telah disepakati uang atau harta isteri adalah milik pribadinya, sehingga perlakuannya sama seperti halnya kepunyaan orang lain, tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan keridhaan dan kerelaannya.

Bila ia telah memberikan keridhaan bagi suaminya pada sebagian yang ia miliki atau semuanya, maka boleh saja dan menjadi halal bagi suaminya. Artinya, suami tidak boleh beranggapan hasil jerih-payah isteri bisa dipakai sesuka hatinya.
Jika tidak, ia telah memakan harta orang lain dengan cara yang tidak sah.

Dalam Fatwa Islam ditegaskan, ”Khusus masalah gaji istri yang bekerja, semuanya menjadi haknya. Suami tidak boleh mengambil harta itu sedikitpun, kecuali dengan kerelaan hati istrinya.” (Fatwa Islam, nomor 126316)

Dengan demikian, wanita berhak mengeluarkan hartanya untuk kepentingannya atau untuk sedekah, tanpa harus meminta izin kepada suaminya. Di antara dalilnya adalah hadis dari Jabir bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berceramah di hadapan jamaah wanita,

“Wahai para wanita, perbanyaklah sedekah, karena saya melihat kalian merupakan mayoritas penghuni neraka.” Kemudian, para wanita itu pun berlomba-lomba menyedekahkan perhiasan mereka, dan mereka melemparkannya di pakaian Bilal." (H R Muslim)


Jika Kekayaan Istri Lebih Banyak dari Suami

Sahabat Ummi, betapa indahnya apabila seorang isteri bisa melakukan sebagaimana yang diperbuat Zainab, isteri Ibnu Mas’ud, dan bertindak seperti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya. Al Bukhari meriwayatkan hadits Abu Sa’id Radhiyallahu ‘anhu dalam Shahihnya, ia berkata:
“Dari Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu anhu: Zainab, isteri Ibnu Mas’ud datang meminta izin untuk bertemu. Ada yang memberitahu: “Wahai Rasulullah, ini adalah Zainab.”
Beliau bertanya,”Zainab yang mana?”

Maka ada yang menjawab: “(Zainab) isteri Ibnu Mas’ud,”
Beliau menjawab,”Baiklah. Izinkanlah dirinya,”
Maka ia (Zainab) berkata: “Wahai, Nabi Allah. Hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah. Sedangkan aku mempunyai perhiasan dan ingin bersedekah. Namun Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dirinya dan anaknya lebih berhak menerima sedekahku.”

Nabi bersabda,”Ibnu Mas’ud berkata benar. Suami dan anakmu lebih berhak menerima sedekahmu.” Dalam lafazh lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam menambahkan: “Benar, ia mendapatkan dua pahala, pahala menjalin tali kekerabatan dan pahala sedekah.”



Syaikh Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd mengatakan, pelajaran dari hadits di atas:

1. Diperbolehkan bagi wanita bersedekah untuk suaminya yang miskin.
2. Suami adalah orang yang paling utama untuk menerima sedekah dari isterinya dibandingkan dengan orang lain.
3. Isteri diperbolehkan bersedekah untuk anak-anaknya dan kaum kerabatnya yang tidak menjadi tanggungannya.
4. Sedekah isteri tersebut termasuk bentuk sedekah yang paling utama.

Demikianlah, semoga para suami bisa adil memperlakukan penghasilan istri, yakni dengan tidak mengambil harta istri kecuali dengan keridhoan, dan istri bisa bersikap bijak jika memiliki harta/ penghasilan lebih dari suami.(muslimahcorner.com)

Sisihkan Uang Untuk Bayar Utang Tanpa Diketahui Suami, Bagaimana?

SUAMI memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Ia harus berusaha dengan cara bekerja keras untuk memperoleh rezeki hingga dapat memuhi kewajibannya. Dan sebagai seorang istri, ia harus mampu mengelola keuangan yang diberikan oleh suaminya. Sebab, segala urusan rumah tagga itu berada di tangan istri.

Ada satu hal yang terkadang dialami oleh setiap orang dalam rumah tangga, yakni berutang. Ya, mengutang adalah hal yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang dalam keadaan terpepet atau terpaksa. Maka, membayarnya pun menjadi wajib, ketika ia telah memiliki rezeki yang lebih.
Ketika seorang istri mengetahui suami memiliki utang kepada orang lain dan suami menangguhkannya, kebanyakan dari mereka tidak memikirkan. Sebab, ia menganggap bahwa itu adalah kewajiban suami dan terserah suami mau melunasi atau kah tidak. Akan tetapi, tak semua istri seperti itu.

Ada pula istri yang melakukan tak tik atau cara yang tak biasa agar mampu membantu suami melunasi utang-utangnya tanpa ia harus membantu bekerja untuk mencari nafkah. Salah satunya ialah dengan mengumpulkan sisa uang belanja rumah tangga yang diberikan oleh suaminya tanpa memberi tahu padanya. Tapi, apakah perbuatan ini dosa atau kah tidak?
Seorang istri yang melakukan demikian telah berbuat baik dan buruk sekaligus. Sisi baiknya ia berusaha membebaskan suami dari tanggungan utang yang ditangguhkannya hingga merugikan orang lain. Ia ingin menyelamatkan suami dari hal tersebut. Bisa juga tujuannya memberi manfaat kepada orang lain dengan memberikan haknya karena suaminya mengulur hak tersebut dan tidak juga melunasi utang kendati ia mampu membayarnya. Istri ingin memberikan hak tersebut kepada orang lain yang sedang membutuhkannya hingga ia menempuh tipu daya ini.
Tapi, ia juga berbuat buruk dengan pengkhianatan karena telah menggelapkan dan menyembunyikan sebagian air yang diambilnya untuk memenuhi kebutuhakn mendatang atau yang semisal, dan ia berdusta. Untuk itu, kepada suami hendaknya Anda memaafkan istri Anda yang melakukan hal itu. Tumbuhkan kembali prasangka baik dan mempercayainya. []

Sumber: 150 Problem Rumah Tangga yang Sering Terjadi/Karya: Nabil Mahmud/Penerbit: Aqwam

Berapa Besaran Nafkah untuk Anak Istri ?

Besaran nafkah sendiri berbeda-beda. Ada kelas eksekutif, kelas bisnis, dan ada juga kelas ekonomi.
Dream - Agama menaruh kewajiban nafkah istri dan anak di bahu seorang suami sebagai kepala keluarga. Meskipun pada praktiknya kadang yang menjadi “kepala keluarga” berbeda dengan yang selama ini berkewajiban memberi nafkah.
Besaran nafkah sendiri berbeda-beda. Ada kelas “eksekutif”, kelas “bisnis”, dan ada juga kelas “ekonomi”. Untuk suami dengan penghasilan tinggi, wajib menafkahi istrinya sebanyak dua mud. Untuk kelas menengah, satu setengah mud. Sementara mereka yang berpenghasilan rendah, hanya satu mud setiap harinya.

Agama menaruh kewajiban nafkah istri dan anak di bahu seorang suami sebagai kepala keluarga. Meskipun pada praktiknya kadang yang menjadi “kepala keluarga” lain orang dari mereka yang selama ini berkewajiban memberi nafkah. Besaran nafkah itu sendiri berbeda-beda. Ada kelas “eksekutif”, kelas “bisnis”, dan ada juga kelas “ekonomi”.

Setidaknya begitu menurut pandangan Imam Syafi’i. berbeda lagi dengan pandangan mujtahid lainnya. Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyddalam Bidayatul Mujtahid menyebutkan sebagai berikut.

وأما مقدار النفقة فذهب مالك إلى أنها غيرمقدرة بالشرع وأن ذلك راجع إلى ما يقتضيه حال الزوج وحال الزوجة، وأن ذلك يختلف بحسب اختلاف الأمكنة والأزمنة والأحوال، وبه قال أبو حنيفة. وذهب الشافعي إلى أنها مقدرة: فعلى الموسر مدان، وعلى الأوسط مد ونصف، وعلى المعسر مد.

Adapun terkait ukuran nafkah, Imam Malik berpendapat bahwa kadar nafkah tidak ditentukan secara syar’i. Kadar nafkah harus merujuk pada keadaan suami dan keadaan istri yang bersangkutan. Itu pun berbeda-beda sejalan dengan perbedaan tempat, waktu, dan keadaan. Demikian pula pendapat Imam Abu Hanifah. Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa kadar nafkah ditentukan oleh syara’.

Untuk suami dengan penghasilan tinggi, wajib menafkahi istrinya sebanyak dua mud. Untuk kelas menengah, satu setengah mud. Sementara mereka yang berpenghasilan rendah, hanya satu mud setiap harinya.

Satu mud seukuran 543 gram menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Sementara menurut Hanafiyah, satu mud seukuran 815,39 gram.

Yang jelas dibutuhkan ialah kebijaksanaan antara suami dan istri dalam menentukan besaran nafkah sesuai kebutuhan-kebutuhan keluarganya. Begitu juga terkait kebutuhan harian lainnya seperti ongkos pendidikan dan lain sebagainya. Untuk itu, upaya mencari nafkah yang halal memiliki keutamaan yang tinggi.

Karena pada prinsipnya kesepahaman antara pihak suami maupun pihak istri ini yang perlu hadir. Terlebih dalam kondisi suami yang memiliki keterbatasan fisik? Saling menerima dalam batas yang wajar menjadi perhatian utama agar tidak ada yang dizalimi. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)

Istri Boleh Mengambil Harta Suami Jika Suami Memiliki Sifat Kikir Dan Tidak Memberi Nafkah

Tugas utama seorang suami adalah mencari nafkah. Sayangnya, tidak semua suami bersikap terbuka atas penghasilannya. Ada juga yang terkesan kikir dalam menafkahi istri dan anak-anaknya.

Bagaimana jika istri tahu betul penghasilan suami dan mampu menafkahinya dengan layak, tetapi karena kekikirannya suami enggan memenuhi kebutuhan keluarga? Jika situasinya seperti ini, istri diperbolehkan mengambil harta suami secukupnya.

Pernah terjadi dizaman Rasulullah. Hindun binti Utbah pernah mengadu kepada Rasulullah Saw. bahwa Abu Sufyan r.a. (suaminya) adalah seorang laki-laki yang pelit, dia tidak mau memberi nafkah yang bisa mencukupi kebutuhannya dan anaknya. Maka beliau bersabda, "Ambillah dari hartanya dengan cara yang baik sebanyak yang bisa mencukupi keperluanmu dan mencukupi anakmu" (HR Bukhari).

Berkomunikasi dan bermusyawarah dalam menentukan besaran nafkah untuk istri dan anak merupakan cara yang bijaksana. Dengan begitu, suami juga akan mengetahui kisaran berapa anggaran yang harus dikeluarkan. Sebaliknya, seorang suami yang pendapatannya kecil, sehingga untuk memenuhi kebutuhan keluarga masih kurang, sementara si istri memiliki kecukupan secara finansial (karena dia juga bekerja), sebaiknya tidak menutup diri untuk membantu, karena hal tersebut terhitung amal saleh. [reportaseterkini]

Sumber  : 195 Pesan cinta rasulullah oleh Abdillah F.Hasan 

Selasa, 10 November 2015

Buat Para ISTRI, Mintalah Uang Belanja dan Uang Nafkah Kepada SUAMI-mu, Karena 2 Hal itu Berbeda dan Itu HAK-mu

Selama ini banyak orang menganggap uang adalah segala-galanya bisa untuk membeli apapun yang kita inginkan. Orang-orang khususnya suami mencari uang untuk memberi nafkah pada istrinya namun apa anda tahu ternyata menafkahi dan memberi uang belanja itu adalah hal yang berbeda. Simak percakapan berikut:

Si B bertanya " bapak A di sini bekerja untuk apa?
" Untuk mencari uang untuk menafkahi anak dan istri saya lah pak, emang untuk apa lagi?" Bapak A menjawab
Si B bertanya lagi " kalau bapak disini mencari nafkah terus yang nyari uang belanja siapa?"
"Ya kan sama aja pak Mencari nafkah sama uang belanja kan sama aja" jawab Bapa A.

Percakapan diataslah yang sering terjadi bila kita bertanya mengenai nafkah dan uang belanja, Ternyata nafkah istri dan uang belanja adalah dua hal yang berbeda. Uang belanja berupa uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan, membayar rekening listrik dan air, dan biaya kebutuhan hidup lainnya. Sedangkan nafkah istri adalah yang khusus yang diberikan suami kepada istrinya atau uang jajan.

Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa': 34)

Sudah menjadi kewajiban seorang suami yang harus memberi nafkah kepada istrinya berupa uang belanja dan nafkah khusus untuk istri atau uang jajan.

Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:
Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami).” (HR. Muslim: 2137)

Dalam hadist ini disebutkan dua nafkah yang wajib diberikan seorang suami kepada istrinya, yaitu rizki (uang belanja) dan pakaian (nafkah istri).

Namun, Islam juga tidak memberatkan kepada para lelaki untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Para suami memang wajib memberikan nafkah pada istrinya, namun tetap sesuai dengan kemampuannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf, Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS.al-Baqarah: 233)

Para istri juga harus memiliki sifat qana’ah dengan cara bersyukur untuk setiap rizki yang diberikan suaminya dan mengaturnya sebaik mungkin, seperti yang dinasehatkan Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam saat Hindun binti Itbah mengadu pada Rasul tentang suaminya yang kikir. Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:

Ambil-lah nafkah yang cukup untukmu dan anak- anakmu dengan cara yang wajar.” (HR.Bukhori:  4945)

Nah, untuk para suami, mulai sekarang sisihkan uang untuk memberi nafkah istri juga selain untuk memberi uang belanja. Untuk para istri, boleh mengingatkan suaminya untuk memenuhi kewajiban nafkah istri, namun lakukan dengan cara yang wajar dan bersyukurlah atas setiap nafkah yang diberikan suami. Insha Allah akan membawa berkah dalam kehidupan keluarga. Aamiin.

Jangan cuma dibaca, Tolong di Share Juga Ya.....