DI TIAP perayaan Natal, bocah Kristiani-dan juga anak-anak umat
Muslim- kerap didoktrin pada kemunculan seorang tokoh tambun berpakaian
serba merah serta bertopi jambul yang bernama Sinterklas atau Santa
Claus.
Manusia berjenggot tebal dan dipandu oleh segerombolan rusa ini pun
digambarkan memiliki sifat yang ramah. Ia datang ke tiap rumah untuk
memberi hadiah menarik bagi anak-anak.
Doktrin ini pun ikut menjalar kepada anak-anak muslim. Tayangan
televisi seperti kartun dan drama kerap dihadirkan untuk mendekatkan
anak-anak kita pada ajaran Kristiani. Maka tak heran dalam film ? yang
sarat dengan kontroversi itu, seorang muslim pun didaulat menjadi Santa
Claus demi menyenangkan seorang bocah Kristen.
Bahkan suatu ketika pernah seorang muslim memiliki pengalaman saat
menjadi therapis anak-anak, dia pernah dikejutkan ucapan seorang anak
muslim yang bercita-cita menjadi sang Santa. Ya hanya karena Santa Claus
sudah seperti Tuhan yang bisa menghadirkan apapun yang diminta. Naudzubillah min dzalik. Tak sadar ada upaya pemurtadan halus dibalik misi melambungkan tokoh Kristen ini lewat tayangan-tayangan televisi.
Tentunya hal ini menjadi marak saat perayaan Natal. Banyak kita
saksikan bahwa di sudut-sudut hotel, gerai-gerai food court, mal-mal,
hingga pusat-pusat bisnis memasang ‘pohon terang’ yang dihiasi
atribut-atribut khas natal seperti patung dan gambar Santa Claus. Bahkan
ada sebagian department store yang mewajibkan pramuniaganya meski dia seorang muslim untuk mengenakan atribut-atribut Santa Claus. Astaghfirullah al adzim.
Padahal jika kita teliti lebih jauh, Tokoh Santa Claus tidak lain
adalah sebuah mitos yang sepenuhnya rekayasa. Ada beberapa mitos
berhubungan dengan asal-usul Santa Claus.
Siapakah Sinterklas?
Santa Claus atau juga dikenal sebagai Sinterklas, Santo
Nikolas, Santo Nick, Bapak Natal, Kris Kringle, Santy, atau Santa adalah
tokoh dalam berbagai budaya Kristen yang menceritakan tentang seorang
Kardinal yang hidup di Kota Patara pada abad tiga masehi.
Nama aselinya adalah Nikolas yang merupakan anak tunggal dari keluarga Kristen yang berkecukupan bernama Epiphanius (Ἐπιφάνιος) dan Johanna (Ἰωάννα) atau Theophanes (Θεοφάνης) dan Nonna (Νόννα) menurut versi lain.
Untuk menjaring orang-orang kepada ajaran Kritsen, Nikolas pun
digambarkan sebagai figur yang suka membagi-bagikan hadiah untuk
anak-anak yang baik, serta menghukum anak-anak jahat dengan kekuatan
sihir. Santa Nikolas gemar mengendarai kereta yang ditarik oleh
rusa-rusa kutub. Jadilah penggambaran ini marak di berbagai belahan
dunia ketika momen Hari Natal tiba. Lagi-lagi, mereka memiliki misi agar
ajaran Kristen bisa hadir menembus sekat-sekat masyarakat.
Di Jerman, gambaran tentang Santa Claus juga hadir dalam cerita
rakyat. Dimana ada kisah tentang Dewa Odin (Wodan), yang setiap tahun
(pada perayaan Yule) melakukan pesta perburuan yang dibimbing oleh
dewa-dewa dan para prajurit yang mati dalam medan tempur. Anak-anak lalu
menaruh sepatunya dengan wortel, jerami atau gula, di dekat cerobong
asap sebagai santapan kuda Dewa Odin. Sebagai tanda terimakasih, Odin
akan memberi hadiah bagi anak-anak berupa manisan atau permen.
Praktek ini sendiri hingga kini masih berlangsung di Jerman, Belgia
dan Belanda. Kisah ini diadopsi rakyat Eropa Barat itu setelah
menyerapnya dari ajaran Kristen. Tidak hanya berlangsung saat perayaan
natal, bahkan anak-anak Kristen itu masih menaruh jerami mengisi sepatu
di cerobong asap setiap malam musim dingin, dan berharap Santo Nikolas
memberi mereka hadiah permen dan hadiah-hadiah.
Selain di Eropa, kisah ini juga muncul di benua Amerika. Di Amerika
Serikat, praktek ini muncul melalui koloni Belanda di New Asterdam yang
datang ke negeri Paman Sam setelah menyerang Inggris pada abad 17.
Tidak jauh berbeda dengan dataran Eropa, anak-anak Amerika juga
menggantung kaus kaki atau kaus kaki natalnya di dekat cerobong asap.
Mereka berharap Sinterklas datang menghampiri kaus kaki mereka dan
menaruh mainan dan makanan kesukaan anak-anak.
Cerita lainnya muncul dari suku Indo-Jerman dimana terdapat cerita
pertarungan antara orang suci bernama Santo Nikolas dan setan yang
berwujud Krampus atau Troll Hal ini dapat dibuktikan dalam perayaan
Santo Nikolas di Austria Selatan dan Italia Timur. Dalam perayaan
tersebut, para laki-laki muda hadir menyemarakkan acara dengan memakai
seragam Krampus dan Santo Nikolas.
Kisah kepahlawanan Kristen Santo Nikolas dan Troll ini bermula dari
cerita rakyat dimana sebuah daratan diserang oleh seorang monster. Pada
malam hari, monster melata itu masuk ke cerobong asap dan membunuh
anak-anak. Anak-anak tersebut dibunuh dengan cara mengeluarkan isi perut
mereka atau menyimpan mereka sebagai bahan santapan. Orang suci (Santo
Nikolas) lalu berusaha menaklukan sang setan. Dia mencari sang setan dan
menipunya dengan borgol yang diberkati. Menariknya, dalam beberapa
versi borgol yan dipakai Santa adalah borgol yang sama untuk
memenjarakan Yesus.
Setan tersebut kemudian terperangkap dan terpaksa mengikuti perintah
orang suci. Orang Suci itu menyuruhnya untuk pergi ke setiap rumah dan
membuat perubahan, dengan memberikan hadiah kepada anak-anak. Orang suci
itu juga meminta untuk melakukan hal ini setiap tahun, atau sang setan
boleh memilih untuk dikembalikan ke Neraka.
Cerita tentang Santa yang baik hati pun makin melegenda. Ada pula
yang meyakini bahwa Santa Claus selalu ditemani seorang budak negro
bernama Swarte Piet (Piet hitam). Mereka hadir setiap perayaan natal
dengan mengendarai kuda terbang yang akan mendarat di atap-atap rumah
anak yang baik guna membagi-bagi hadiah lewat cerobong asap.
Berbeda dengan Santa yang digambarkan penuh kebaikan, Swarte Piet
justru digambarkan sebagai individu menyeramkan. Swarte Piet kerap
memukul anak nakal dengan tongkat atau memasukan mereka ke dalam karung
dan membawa mereka ke Spanyol.
Sejatinya, ilustrasi tersebut menggambarkan diskriminasi rasial,
ketika Santa Claus dilukiskan sebagai seorang kulit putih yang baik
budi, sedang Swarte Piet dicerminkan sebagai seorang negro kejam yang
suka menyiksa anak-anak nakal. Pemahaman orang awam coba digiring bahwa
bangsa berkulit hitam adalah kelompok jahat, kejam, dan penuh kebencian.
Sedangkan bangsa berkulit putih penuh dengan kelembutan, rasa
kemanusiaan, dan jauh dari perilaku jahat. Padahal faktanya, hal itu
masih bisa diperdebatkan.
Pada tahun 1969, Gereja Roma Katholik yang dipimpin Paus Paulus VI
menanggalkan perayaan Santa Nicholas dari kalender resmi gereja. Banyak
pendeta dan aktivis Katholik Kristen yang mengkritik esensi perayaan
natal yang telah tercemari oleh unsur komersial yang dilakukan oleh para
pelaku bisnis yang berkuasa. Dari produk makanan, minuman, hingga
pakaian banyak mengusung tema Santa Claus. Perayaan natal akhirnya lebih
mengkultuskan mitos Santa Claus dibanding sosok Yesus itu sendiri.
Namun, alih-alih Santa Claus adalah mitos, sejatinya perayaan natal
tanggal 25 Desember pun juga sarat pengaruh legenda pagan dan kisah
mitos. Pihak Kristen sendiri tidak benar-benar serius melarang Santa
Claus, karena pada realitanya mereka sendiri banyak diuntungkan dengan
kehadiran mitos ini.
Paganisme Yunani-Romawi telah diadopsi oleh kaisar Constantine dalam
menyebarkan agama Kristen. Salah satunya dengan mengukuhkan 25 Desember
sebagai hari kelahiran Yesus Kristus sang penebus dosa. Sesungguhnya
tanggal tersebut merupakan peringatan terhadap Dewa Matahari Sol
Invictus. Ketetapan ini dilegalkan kaisar Constantine pada 313 M dalam
sebuah dekrit Edict Of Milan.
Selanjutnya, Constantine menetapkan hari matahari (sun day) sebagai hari libur kerajaan. Tak beda dengan kaum Yahudi, umat Kristiani sebenarnya menetapkan hari Sabtu (Sabath)
sebagai hari suci. Kalangan Kristen Ortodoks sampai saat ini masih
memperingati hari kelahiran Al Masih pada tanggal 6 januari. Namun
sebagai penghormatan kepada Sol Invictus, maka perayaan natal sang juru
selamat, diubah pada tanggal 25 Desember.
PADA perkembangannya, Natal telah didominasi oleh tradisi kaum kafir
pagan. Terlebih muncul tokoh fiktif Santa Claus yang sejatinya adalah
rekayasa Kristen liberal dengan tujuan membumikan ajaran kristiani. Encyclopedia Britannica, volume 19 halaman 648-649, edisi ke-11, mengatakan:
“St. Nicholas, bishop of Myra, a saint honored by the Greeks and Latins on the 6th of December… A legend of his surreptitious bestowal of dowries on the three daughters of an impoverished citizen…is said to have originated the old custom of giving presents in secret on the Eve of St. Nicholas [Dec. 6], subsequently transferred to Christmas day. Hence the association of Christmas with Santa Claus…”
St. Nicholas adalah seorang pastur di Myra yang amat diagung-agungkan oleh orang-orang Yunani dan Latin setiap tanggal 6 Desember… Legenda ini berawal dari kebiasaannya yang suka memberikan hadiah secara sembunyi-sembunyi kepada tiga anak wanita miskin… untuk melestarikan kebiasaan lama dengan memberikan hadiah secara tersembunyi itu digabungkan ke dalam malam Natal. Akhirnya terciptalah kaitan antara hari Natal dan Santa Claus.
Herbert W Armstrong (1892-1986), Pastur Worldwide Church of God dan
pendiri Ambassador College membongkar kebohongan tentang Natal dalam
buku The Plain Truth About Christmas. Tulisan tentang Sinterklas ditulis secara khusus dalam sub bab Yes, And Even Santa Clause. Dia menulis,
“And so when we examine the facts, we are astonished
to learn that the practices of observing Christmas is not, after all, a
true Christian practice, but a pagan custom – one of the ways of Babylon
our people have fallen into.”
Dari bukti-bukti nyata yang telah kita ungkap tadi
dapatlah diambil kesimpulan, bahwa perayaan Natal atau Christmas itu
bukanlah ajaran Kristen yang sebenarnya, melainkan kebiasaan para
penyembah berhala (Paganis). Ia warisan dari kepercayaan kuno Babilonia
ribuan tahun yang lampau.
Kristen Liberal ingin membentuk opini lewat penciptaan tokoh Santa
Calaus bahwa Barat identik dengan kedermawanan, suka membagi-bagi hadiah
dan menolong kaum tertindas.
Lantaran bangunan akidah Kristen telah lapuk, tak heran bila Kristen
masih mempercayai mitologi. Jauh berbeda dengan pandangan Islam bahwa
lewat dakwah Islam, mausia akan dibebaskan dari unsur magis, animisme,
mitologi serta tradisi yang melenceng dari aqidah. Ajaran Islam juga
membebaskan akal dari keraguan, dugaan, argumen kosong menuju keyakinan
akan kebenaran mengenai realitas spiritual, akal dan materi. Islam tidak
menyembah patung, berhala, arca yang bisa dihancurkan kapanpun sesuai
kehendak manusia.
Pada perkembangannya, momentum Santa Claus pun juga dijadikan alat
ampuh oleh para misionaris untuk menarik minat seorang anak non Nasrani
pada doktrin Santa. Bahwa mereka mengkritik hegemoni Santa Claus dalan
teologi, memang iya, namun tidak dapat dipungkiri gereja pun ketiban
untung lewat mitologi Santa Claus. Sebab Tokoh Santa yang ‘ramah’ memang
sejalan dengan misi penyebaran ajaran Kristen yang kerap memuluskan
tujuannya lewat aksi amal.
Paus sendiri tidak yakin akan kebenaran Santa Claus. Menurut Paus,
cerita tentang tokoh ini lebih banyak dongeng dan khayalannya. Akhirnya,
pada 1970 Vatikan menghapus dan mencoret nama Sinterklas dari daftar
orang-orang suci. tetapi karena banyaknya protes yang berdatangan,
akhirnya Vatikan memberikan kelonggaran dan kebebasan untuk memilih
apakah Santa Claus termasuk orang suci atau bukan.
Namun secara resmi Santa Claus bukan termasuk orang yang dianggap
suci lagi. Jadi jika orang Kristen saja ragu dengan Santa Claus, kenapa
umat Islam berbondong-bondong menghiasai diri dengans seragam tokoh
palsu ini? Sungguh sebuah bentuk toleransi kebablasan dan salah arah.
[Pz/Islampos]
Sumber: https_www_islampos_com/membongkar-rekayasa-sinterklas-1-90339/
https_www_islampos_com/membongkar-rekayasa-sinterklas-2-habis-90868/
Membongkar Rekayasa Sinterklas
4/
5
Oleh
Blogger Keren